oleh

“QUO VADIS” Keadilan Substantif dalam Penegakan Hukum

-Opini-68 views

Oleh: Dr. Firman Tobing

Akademisi/Member of Law and Economic Academic Forum Indonesia

Tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam berbagai penanganan kasus hukum yang terjadi di tanah air, seringkali menjadi bahan perbincangan publik karena putusan peradilan dianggap mengabaikan nilai-nilai keadilan yang semestinya dirasakan oleh masyarakat dan pencari keadilan. Proses hukum di lingkungan peradilan Indonesia hingga saat ini dianggap belum sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai keadilan yang sesungguhnya. Keadilan seolah menjadi “barang mahal” yang jauh dari jangkauan masyarakat. Berbagai keputusan pengadilan dari kasus-kasus yang terjadi yang pada akhirnya justru semakin menambah daftar panjang potret buram dalam praktik penegakan hukum di negeri ini.

Penegakan hukum yang berjalan selama ini terkesan kuat masih berorientasi dalam bentuk keadilan prosedural yang sangat menekankan pada aspek regularitas dan penerapan formalitas legal semata. Sejalan dengan itu rekayasa hukum menjadi fenomena yang cukup kuat dalam hampir setiap penegakan hukum di negeri ini. Keadilan substantif sebagai sumber keadilan prosedural masih bersifat konsep parsial dan belum menjangkau seutuhnya ide-ide dan realitas yang seharusnya menjadi bagian intrinsik dari konsep dan penegakan keadilan. Akibatnya, penegakan hukum menjadi kurang atau bahkan tidak mampu menyelesaikan inti persoalan sebenarnya. Suara-suara dari orang-orang atau masyarakat yang tertindas sebagai subjek yang sangat membutuhkan hadirnya rasa keadilan hampir terabaikan sama sekali. Orang yang selama ini mengalami ketidakadilan, atau bahkan masyarakat secara keseluruhan kian jauh dari sentuhan dan rasa keadilan. Bahkan, sering terjadi, atas nama keadilan, para pencari keadilan menjadi korban penegakan hukum formal. Realitas ini menjadikan penegakan keadilan berwajah ambivalen yang jauh dari nilai-nilai keadilan hakiki dan terkadang justru menyodok rasa keadilan itu sendiri.

Tidak mengherankan dalam praktek penegakan hukum yang terjadi acap kali dijumpai ketidakpuasan dan kekecewaan masyarakat dan para pencari keadilan terhadap kinerja peradilan yang dianggap tidak objektif, kurang menjaga integritas, dan bahkan kurang professional. Produk peradilan yang berupa putusan hakim sering dianggap kontroversial, cenderung tidak dapat diterima oleh kalangan luas hukum serta tidak sejalan dengan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Dengan kata lain, putusan-putusan yang dijatuhkan dianggap tidak berdasarkan pada pertimbangan hukum yang cermat dan komprehensif (Onvoeldoende Gemotiverd), tetapi hanya didasarkan pada silogisme yang dangkal dalam mengkualifikasi peristiwa hukumnya yang kemudian berdampak pula pada konstitusi hukumnya.

Salah satu penyebab dari berbagai kasus yang pernah terjadi adalah adanya korupsi peradilan (judicial corruption), yang lebih populer disebut dengan mafia peradilan, yaitu adanya konspirasi dan penyalahgunaan wewenang di antara aparat keadilan untuk mempermainkan hukum demi keuntungan pribadi. Berbagai intervensi dan tekanan pihak luar terhadap hakim, terkadang membuat kinerja hakim tidak lagi optimal, atau bahkan memilih bersikap opportunis. Tidak semua hakim dapat mengatakan yang benar adalah benar, dan yang salah adalah salah. Belum lagi munculnya ”makelar kasus” yang menghalalkan segala cara seperti jual beli perkara, semakin menambah coreng moreng dunia peradilan.

Konsep Keadilan Dalam Putusan Peradilan

Dalam diskursus tentang konsep keadilan (justice), banyak ditemukan berbagai pengertian keadilan, di antaranya keadilan adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya (proporsional); keadilan adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban dan lain sebagainya. Demikian pula klasifikasi keadilan juga banyak ditemukan misalnya Aristoteles membagi keadilan komulatif dan distributif, ada juga membedakan norm gerechtigkeit dan einzelfall gerechtigkeit dan seterusnya. Demikian ada ahli yang membagi menjadi: keadilan hukum (legal justice), keadilan secara moral (moral justice) dan keadilan sosial (social justice).

Dalam konteks putusan hakim peradilan, terutama yang sering disinggung-singgung adalah berupa keadilan prosedural (procedural justice) dan keadilan substantif (substantive justice). Keadilan prosedural adalah keadilan yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang dirumuskan dari peraturan hukum formal, seperti mengenai tenggat waktu maupun syarat-syarat beracara di pengadilan lainnya. Sedangkan keadilan substantif adalah keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai yang lahir dari sumber-sumber hukum yang responsif sesuai hati nurani.

Harus diakui pula bahwa tidaklah mudah dalam praktek untuk merumuskan apa yang menjadi tolok ukur atau parameter keadilan itu sendiri. Proses penyelesaian perkara di pengadilan melibatkan setidaknya dua pihak yang masing-masing sedang terlibat konflik kepentingan (conflict of interest) satu dengan lainnya. Sehingga bisa saja terjadi ketika putusan hakim dijatuhkan akan dirasakan berbeda oleh kedua belah pihak, yaitu satu pihak merasa adil karena keinginannya dikabulkan, tetapi pihak yang lain merasa putusannya tidak adil karena keinginannya tidak dapat terpenuhi. Sehingga hakekatnya persoalan keadilan itu implementasinya dalam praktik dirasakan adil atau tidak adil adalah berdasarkan penilaian masing-masing pihak, yang sangat mungkin berbeda secara diametral parameternya.

Dalam tataran ideal, untuk mewujudkan putusan hakim yang memenuhi harapan pencari keadilan, yang mencerminkan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat, ada beberapa unsur yang harus dipenuhi dengan baik, antara lain, unsur keadilan (Gerechtigkeit), unsur kepastian hukum (Rechtsicherheit) dan unsur kemanfaatan (Zwechtmassigkeit). Ketiga unsur tersebut semestinya oleh menjadi hal yang harus menjadi pertimbangan bagi Hakim dan diakomodir secara proporsional, sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan putusan yang berkualitas dan memenuhi harapan para pencari keadilan.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed