oleh

Politik Patronase Menjelang Pilkada Serentak 2024

-Opini-189 views

Oleh: Dr. Firman Tobing

Akademisi/Anggota

Jika tidak ada aral melintang, Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada Serentak 2024 akan berlangsung pada Rabu, 27 November 2024. Pilkada serentak tahun ini berlangsung di 545 daerah, yang terdiri dari 37 provinsi serta 508 kabupaten dan kota sekaligus merupakan momen penting yang memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam memilih pemimpin daerah mereka. Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2024, penjelaskan pengertian dan prosedur pelaksanaan Pilkada yang menjadikannya sebagai landasan hukum untuk mengatur proses demokrasi di Indonesia.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Pilkada merupakan salah satu bentuk implementasi nyata dari nilai-nilai demokrasi dan nomokrasi yang menjadi paradigma dalam perubahan UUD 1945. Indonesia sebagai negara demokrasi yang berlandaskan hukum, perubahan UUD 1945 menegaskan pentingnya kedaulatan tertinggi yang berada di tangan rakyat. Pilkada memberikan kesempatan kepada rakyat untuk secara langsung memilih pemimpin mereka, baik di tingkat presiden/wakil presiden maupun kepala daerah, sehingga memastikan bahwa kekuasaan tetap berada di tangan rakyat. Sedangkan dalam konsep demokrasi, rakyat dikonstruksikan sebagai pemilik kedaulatan tertinggi dalam sistem ketatanegaraan. Mereka memiliki wewenang untuk menunjuk wakil-wakilnya di badan legislatif dan eksekutif. Namun, untuk menjaga kepentingan masyarakat, pelaksanaan demokrasi ini diikat oleh norma-norma konstitusi atau teori kedaulatan norma, sehingga Pilkada Serentak tidak hanya sekedar proses teknis, tetapi juga merupakan manifestasi dari upaya memperkuat sistem presidensial dan demokrasi di Indonesia.

Harus diakui Indonesia, dengan proses demokrasinya yang dinamis, seringkali diwarnai dengan politik patronase dan politik uang pada masa Pilkada. Fenomena ini telah menjadi bagian integral dari realitas politik negeri ini. Politik patronase, yang melibatkan penggunaan kekuasaan atau posisi untuk mempengaruhi dukungan politik, dan praktik politik uang yang secara finansial menguntungkan kelompok kepentingan, mempunyai dampak yang signifikan terhadap proses demokrasi. Salah satu aspek yang mempersulit Pilkada adalah politik patronase, di mana pejabat atau calon pemimpin suatu daerah menggunakan kekuasaan atau sumber daya negara untuk mendapatkan dukungan. Hal ini dapat berupa penyalahgunaan kekuasaan untuk memanipulasi opini publik, penyalahgunaan dana publik untuk tujuan politik, dan janji dukungan yang tidak realistis.Tindakan-tindakan ini mengancam integritas proses demokrasi dan melemahkan prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan dalam persaingan politik.

Politik VS Transaksional

Aristoteles seorang filsuf Yunani, memandang politik sebagai sesuatu yang positif, yang berfungsi untuk mencapai tujuan bersama. “Politik memberikan kerangka bersama dalam kehidupan sosial untuk mengembangkan dan mengimplementasikan kebijakan untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik”. Lain halnya dengan yang terjadi di Indonesia, praktik politik sarat dengan transaksional, yang terlihat jelas saat musim pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Di masa kampanye, para kandidat memainkan apa yang disebut politik patronase.

Fenomena terjadinya pertukaran relasi antara patron (seseorang yang memiliki status sosial-ekonominya tinggi) dan klien (seseorang yang lebih rendah kedudukannya). Dalam konteks ini konstruksi relasi terjadi atas dasar kepentingan sedangkan patron memiliki kepentingan dalam mencapai kekuasaan, dan di sisi lain, klien memiliki jaminan baik ekonomi maupun status sosial dari patron itu sendiri. Di sinilah terlihat tumbuh suburnya hubungan Patron-klien pada masyarakat yang memiliki persoalan sosial, dan ekonomi yang komplek seperti minimnya sumber daya alam yang tersedia. Lapisan sosial masyarakat umumnya di kalangan petani, nelayan, dan pedagang, baik di pedesaan atau pinggiran kota, bentuk hubungan antara patron (tuan) klien (pekerja), dengan cara memberikan bantuan terhadap keperluan klien.

Bertitik tolak dari fenomena tersebut, sudah saatnya masyarakat dituntut untuk lebih cerdas mengetahui pola-pola patrionase politik yang “lazim” dilakukan dalam masa-masa pilkada, seperti Vote Buying Jual beli suara merupakan strategi pembagian uang tunai atau barang oleh kandidat dan/atau partai politik kepada pemilih secara sistematis, dengan harapan bahwa para penerima akan membalas pemberian tersebut dalam bentuk memberikan suara mereka saat pemilihan umum. Di Indonesia, strategi ini awam dikenal dengan nama “serangan fajar” lantaran proses pemberiannya sering kali dilakukan secara diam-diam dan tiba-tiba. Ironisnya, praktik ini dilakukan secara sistematis dan terorganisir oleh tim pemenangan kandidat. Dalam banyak kasus politik uang yang terjadi, tim pemenangan ini akan membentuk tim khusus secara ilegal dan menggerakkan kelompok dalam skala besar untuk mendistribusikan uang dan barang kepada para pemilih.

Pork Barrel Program yang terkenal dengan sebutan “Program Gentong Babi” merujuk pada penggunaan skema bantuan sosial dari kandidat atau partai politik kepada pemilih menggunakan dana program pembangunan daerah dari pemerintah, dengan tujuan untuk mengikat dukungan politik dari pemilih. Praktik ini jelas saja merupakan tindakan korupsi atau penyelewengan. Pasalnya, kandidat mengambil dana program pembangunan, yang sebetulnya merupakan tanggung jawab negara, untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan kelompoknya sendiri. Temuan di lapangan juga menunjukkan bahwa program ini sering kali berhasil berjalan karena adanya bantuan dari aparat birokrasi. Pola terakhir adalah Transaksi loyalitas yang diberikan kepada para simpatisan atau pendukung kandidat dan partai politik selama masa kampanye yang umumnya dapat berbentuk pembagian proyek pemerintahan termasuk juga memberikan jabatan kepada mereka yang mendukung kandidat selama masa kampanye.

Pada akhirnya, kita harus menyambut pesta demokrasi melalui Pilkada Serentak 2024 dengan semangat menciptakan Pilkada dan politik yang berintegritas dan menolak segala bentuk patronase politik. Memilih pemimpin bukan transaksional materi, tapi karena bersumber dari nilai-nilai integritas. Mari kita wujudkan Indonesia yang maju dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Karena sesungguhnya POLITIK BUKAN AJANG PAMER KEKUATAN, TETAPI PELAYANAN KEPADA RAKYAT.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed