oleh

Demokrasi, antara Etika dan Moral Politik

-Opini-169 views

Oleh: Dr. Firman Tobing

Akademisi/Anggota Pusat Analisa Kebijakan Hukum & Ekonomi Indonesia

“Demokrasi adalah proses di mana orang-orang memilih seseorang yang kelak akan mereka salahkan.”

Ungkapan Bertrand Russell, seorang filsuf besar abad ke-20 tersebut mungkin dapat mewakili kondisi demokrasi kita saat ini. Bagaimana tidak, pesta demokrasi melalui Pemilu yang diselenggarakan lima tahun sekali sebagai salah satu instrument demokrasi, sejatinya menjadi momentum kebahagiaan bagi setiap warga negara, dan bukan sebaliknya, menjadi gerbang kesengsaraan bagi warganya. Hal ini menuntut adanya moralitas publik para pemimpin agar kelak dapat mewujudkan sila kelima Pancasila keadilan sosial bagi seluruh rakyat di negeri ini. Tanpa itu, demokrasi akan seperti yang disebut Russell di atas.

Tidak bisa dipungkiri bagi sebagian orang, dunia politik dan moralitas seringkali dilihat sebagai dua entitas yang kontradiktif, saling menegasi. Politik pada satu pihak dipandang sebagai suatu yang rendah, kotor, penuh intrik dan menghalalkan segala macam cara. Padahal sejatinya politik menggambarkan seni untuk mengatur dan mengurus negara yang di dalamnya mencakup berbagai kebijakan atau tindakan untuk mengurus negara. Sebaliknya, moralitas yang pada dasarnya merupakan sesuatu yang berkaitan dengan etika, adat sopan santun justru dipandang sebagai sesuatu yang agung dan adiluhung. Politik mewakili dunia yang kelam di dasar bumi sedangkan moral mewakili dunia langit yang selalu bersinar terang, namun tidak pernah menyentuh bumi.

Paradigma Demokrasi, Etika dan Moral Politik

Dalam konteks demokrasi seperti saat ini, etika dan moral menjadi dua hal yang harus berperan sebagai titik pusat dalam menjalankan sistem demokrasi. Prinsip-prinsip etika dan moral seperti integritas dan kejujuran merupakan prasyarat penting dalam membangun sistem demokratis yang efektif dan terpercaya. Pemimpin dan pembuat kebijakan yang bertindak dengan etika dan moral yang tinggi cenderung memperoleh kepercayaan dan dukungan masyarakat dan mampu memelihara integritas dan legitimasi institusi demokratis. Di sisi lain yang tidak kalah pentingnya adalah diperlukan adanya kesadaran moral dan kepedulian terhadap keadilan sosial yang merupakan faktor penting dalam membangun masyarakat yang inklusif dan berkeadilan. Nilai-nilai moral yang tercermin dalam bentuk empati, toleransi, dan solidaritas memainkan peran penting dalam memperkuat hubungan antar warga negara dan membangun fondasi yang kuat untuk kehidupan demokrasi yang berkelanjutan.

Berbicara tentang “etika dan moral” setidaknya terdiri dari tiga hal yang harus menjadi fokus perhatian, yaitu: pertama, etika dan moral individual yang lebih menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri. Salah satu prinsip yang secara khusus relevan dalam etika individual ini adalah prinsip integrasi pribadi, yang berbicara mengenai perilaku individual tertentu dalam rangka menjaga dan mempertahankan nama baiknya sebagai pribadi yang bermoral. Kedua, etika moral sosial yang mengacu pada kewajiban dan hak, sikap dan pola perilaku manusia sebagai makhluk sosial dalam interaksinya dengan sesamanya. Tentu saja sebagaimana hakikat manusia yang bersifat ganda, yaitu sebagai makhluk individual dan sosial. Ketiga, etika lingkungan hidup yang berkaitan dengan hubungan antara manusia baik sebagai makhluk individu maupun sebagai kelompok dengan lingkungan alam yang lebih luas.

Dalam kenyataan yang terjadi dan telah menimbulkan adanya ketidakpuasan rakyat dalam proses penegakan hukum di Indonesia, terutama dari sisi para politikus yang kurang memahami dan menghormati “etika politik” saat mereka menjalankan proses demokrasi yang cenderung melanggar hukum dan aturan main yang mereka sepakati sendiri, sehingga tidak berlebihan banyak yang mempertanyakan moral politik dari para politikus bangsa ini. Ekses dari ketidakpuasan rakyat di dalam praktik demokrasi dan penegakan hukum yang terjadi selama ini telah memunculkan fenomena distrust dan disintegrasi bangsa yang pada gilirannya mengancam keutuhan NKRI. Tidaklah heran sejak tahun 2001, MPR-RI mengeluarkan Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Lahirnya TAP ini, dipengaruhi oleh lemahnya pemahaman terhadap etika berbangsa, bernegara, dan beragama. Munculnya kekhawatiran para wakil rakyat di MPR tersebut terungkap sejak terjadinya krisis multidimensi yang memunculkan ancaman yang serius terhadap persatuan bangsa, dan terjadinya kemunduran pelaksanaan etika kehidupan berbangsa. Hal itu tampak dari konflik sosial yang berkepanjangan, berkurangnya sopan santun dan budi luhur dalam pergaulan sosial, melemahnya kejujuran dan sikap amanah dalam kehidupan berbangsa, pengabaian terhadap ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negeri ini.

Harus diakui bahwa saat ini telah terjadi suatu fenomena yang dapat diistilahkan dengan krisis kejujuran, krisis kesadaran kolektif untuk tidak melakukan tindakan yang bersifat destruktif yang merugikan kepentingan bersama. Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) semakin berkembang, kepastian hukum semakin tidak jelas, pengangguran, kemiskinan belum diatasi secara optimal. Akibatnya, rakyat bingung dan mempertanyakan tentang kemampuan elit politik dalam menyelesaikan masalah bangsa. Di samping itu, keadaan ini mengakibatkan terjadinya frustasi sosial, yang mengarah kepada kehidupan yang anarkis, konflik sosial, penjarahan, kebebasan tanpa batas, keberingasan yang bertentangan dengan adat istiadat nenek moyang bangsa kita yang terkenal sopan, lemah lembut, dan penuh toleransi. Oleh karena itu, sangat diperlukan etika politik yang diharapkan mampu berkontribusi terhadap proses penegakan hukum di negeri ini, apalagi moral para Penegak Hukum yang sudah terlanjur bobrok. SEMOGA.

 

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed