oleh

Memajukan Politik Lokal di Indonesia

-Kepri-323 views

Oleh: Dr. Firman Tobing

Akademisi & Anggota Pusat Analisa Kebijakan Hukum & Ekonomi Indonesia

Saat ini, Indonesia tengah dihadapkan oleh berbagai tantangan. Upaya untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang demokratis dan tidak sentralistik serta otoritarian telah diterapkan dengan konsep otonomi daerah yang diterapkan sejak tahun 1999. Dari sisi manajemen pemerintahan, penerapan desentralisasi dan otonomi daerah merupakan instrument utama untuk mencapai suatu negara yang mampu menghadapi kondisi sentralisme dan tidak efektifnya pemerintahan.

Penerapan desentralisasi kewenangan dan otonomi daerah juga merupakan prasyarat dalam rangka mewujudkan demokrasi dan pemerintahan yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Namun dalam pelaksanaannya selama ini, kebijakan otonomi daerah masih menghadapi beberapa kelemahan seperti: otonomi daerah hanya dipahami sebagai kebijakan yang bersifat institusional belaka, perhatian dalam otonomi daerah hanya pada masalah pengalihan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, tetapi mengabaikan esensi dan tujuan kebijakan tersebut, otonomi daerah tidak dibarengi dengan peningkatan kemandirian dan prakarsa masyarakat di daerah sesuai tuntutan alam demokrasi.

Di satu sisi, berkembangnya sistem kepartaian dalam pemilihan umum baik di tingkat pusat maupun daerah telah mengubah karakteristik dan kondisi demokratisasi di Indonesia selama ini. Pemilihan umum yang langsung dilakukan oleh rakyat, sebenarnya merupakan upaya pemerintah untuk mewujudkan sistem politik yang demokratis, namun pada kenyataannya, rakyat hanya menjadi bagian pasif dari pesta demokrasi tadi. Di sisi lain, terutama di daerah, harapan bahwa pemilu dan pemilihan pemimpin daerah adalah orang-orang yang dekat dengan rakyat, pada praktisnya rakyat tidak kenal dan tidak tahu calon pemimpin dan bahkan pemimpin daerah mereka sendiri. Elit-elit politik yang telah berkuasa melebar sayapnya dengan merekrut keluarga dan sanak saudaranya menjadi pemimpin daerah dan “membiayai” partai-partai politik pendukungnya. Mereka adalah pemain-pemain lama di daerah, atau orang-orang yang selama ini berada di Jakarta dan yang selama ini tidak turut membesarkan daerah, tiba-tiba atas nama “putra daerah“, mereka pulang dan menjajal kekuatannya untuk menjadi pemimpin daerah. Akibatnya, para putra daerah yang berprofesi sebagai pemain sinetron dan telah lama menetap di Jakarta pun menjadi bupati atau gubernur daerah yang sama sekali tidak dikuasainya. Kondisi seperti ini memang tragis. Jika pola ini berlangsung terus dan undang-undang otonomi dan pemerintahan daerah tidak dirubah, maka tidak akan lama lagi, Negara ini akan habis sumber dayanya untuk memperkaya golongan dan individual tertentu.

Demokratisasi di Daerah dan Perubahan Sistem Politik Lokal

Pemberian otonomi yang luas kepada daerah-daerah di Indonesia seperti yang tercantum dalam UU Nomor 22 dan 25 tahun 1999, yang dirubah dalam UU Nomor 32 tahun 2004 dan perubahan terakhir melalui UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Otonomi Daerah merupakan bagian dari rekayasa kelembagaan untuk mempercepat proses demokratisasi di Indonesia dan di daerah yang mengatur tentang sistem administrasi daerah dan pelimpahan kewenangan dari pusat kepada daerah untuk mengatur diri/pemerintahannya sendiri.

Harus diakui bahwa otonomi daerah yang sekaligus merupakan upaya pelaksanaan sistem desentralisasi politik, di mana telah terjadi perubahan relasi antara pemerintahan pusat dan daerah. Jika sebelumnya, kewenangan terpusat di pusat atau desentralisasi kekuasaan dan kewenangan, dalam sistem otonomi daerah kemudian, urusan pemerintah di transfer ke daerah. Tambahan lagi, relasi antar lembaga eksekutif dan legislatif di daerah juga turut berubah. Saat ini lembaga DPRD dan Bupati atau Gubernur dalam posisi yang sejajar, kedua lembaga ini dijuluki sebagai “unsur pimpinan daerah” dimana hak dan kewenangan DPRD dalam otonomi daerah menjadi diperbesar dan Dalam tidak lagi menjadi sub-ordinasi dari eksekutif atau sebaliknya di daerah-daerah.

Reformasi hak dan kewajiban dua lembaga dalam sistem pemerintahan daerah ini menjadi secercah harapan baik bagi pembangunan sistem politik yang demokratis. Yang secara otomatis akan berpengaruh pula pada sistem politik lokal di daerah. Namun dengan banyaknya peristiwa dan kondisi pelaksanaan sistem politik local yang dilakukan selama ini, akan memunculkan pertanyaan, apakah dengan menguatkan sistem pemerintahan daerah melalui pemberdayaan yang lebih luas pada lembaga eksekutif dan legislatif daerah cukup menjamin terlaksananya sistem politik lokal yang demokratis?

Dalam berbagai literatur yang membahas tentang otonomi daerah, demokrasi, dan penguatan politik lokal banyak diuraikan tentang perlunya memberikan kewenangan yang lebih besar kepada lembaga-lembaga politik daerah, terutama eksekutif dan legislatif. Penguatan kelembagaan lokal menjadi penting untuk menjamin terwujudnya demokratisasi di daerah. Di Indonesia, sejak pemberlakuan UU otonomi daerah dan terjadinya pergeseran paradigma kewenangan pusat kepada daerah telah direspons oleh setiap daerah dengan cara yang berbeda yang secara otomatis memunculkan kekhasan sistem politik dan pemerintahan daerah yang disesuaikan dengan karakter dan budaya lokal masyarakat yang ada.

Melalui pemberlakuan otonomi pulalah berbagai daerah-daerah di Indonesia mulai berbenah diri. Mereka memilih sendiri pemimpin daerah mereka, yang jika dalam rezim orde baru hal ini tidak mungkin dilakukan, karena pemimpin daerah merupakan utusan dari pusat terutama para anggota militer yang dekat dengan kalangan penguasa. Daerah ingin putra daerah menjadi pemimpin di daerahnya, dengan asumsi putra daerahlah yang mengetahui kondisi dan persoalan di daerahnya dibandingkan dengan orang-orang dari pusat yang selama ini tidak pernah tinggal di daerah setempat.

Ketika sistem kepartaian diberlakukan dengan intensif di tanah air semenjak pasca orde baru, maka partai-partai politik mulai mengusung kader-kader terbaiknya untuk maju dalam pemilukada diberbagai daerah. Politik uang dan segala cara dilakukan oleh para individu mulai dari kader-kader terbaik partai, incumbent, mantan menteri dan elit-elit di Jakarta, serta artis-artis ibukota mendekat kepada partai politik untuk diusung menjadi pemimpin daerah. Oleh karena itu, parpol pun menggunakan mereka untuk kepentingan parpol juga. Lembaga legislatif diatur sedemikian rupa hingga mampu menguasai suara mayoritas. Dengan suara mayoritas, maka legitimasi pemimpin atau eksekutif daerah akan lebih mudah dan langgeng harapannya.(***)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed