oleh

78 TAHUN POLRI “Reformasi Antara Perilaku dan Birokrasi”

-Opini-330 views

OLEH: Dr. FIRMAN TOBING

Akademisi & Alumni Lembaga Ketahanan Nasional-RI (LEMHANNAS-RI)

Memasuki usia 78 tahun Kepolisian Republik Indonesia (Polri) memang bukan waktu yang singkat bergelut dengan menjalankan tugas sebagai garda terdepan dalam menjaga dan memelihara Kamtibmas, melaksanakan penegakan hukum yang sekaligus mengayomi dan melayani masyarakat. Kehidupan Polri memberikan gambaran kehidupan yang kompleks dan complicated yang menuntut keharusan bagi setiap anggotanya untuk memiliki ilmu pengetahuan yang bersifat multi disiplin bahkan interdisipliner sehingga mampu bertindak sebagai hukum yang hidup, karena di tangan merekalah hukum akan mengalami pengejawantahan. Baik buruknya wajah penegakan hukum sudah barang tentu berawal dari tahap ini, sekaligus menjadi taruhan keberhasilan bagi pekerjaan setiap aparat kepolisian.

Sebagai bagian dari birokrasi, institusi polri tidak terlepas untuk melaksanakan transformasi kelembagaan. Reformasi kelembagaan dan birokrasi yang menjadi agenda prioritas nasional saat ini, yang juga merupakan salah satu wujud inisiatif strategis dalam menghadapi tantangan penyelenggaraan pemerintahan dan upaya mewujudkan Polri yang Presisi (Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan). Berbagai hal telah dilakukan oleh Polri sebagai upaya reformasi birokrasi dan transformasi kelembagaan khususnya di internal institusi Polri yang disesuai dengan pakem transformasi organisasi yang dipersiapkan untuk menghadapi tantangan yang tidak kalah besar seperti, peningkatan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas), separatisme, radikalisme, dan terorisme, serta tuntutan reformasi.

Reformasi, Perilaku dan Birokrasi

Untuk mencapai cita-cita reformasi, institusi Polri perlu melaksanakan reformasi di berbagai bidang yang tidak lagi dilakukan secara gradual dan particular, melainkan harus dilakukan secara sustainable (berkelanjutan) dan sistematis. Harus diakui bahwa sejak era reformasi bergulir, institusi Polri telah banyak berbenah di tengah cemoohan berbagai pihak karena beberapa kasus yang menerpa beberapa aparatur birokrasinya. Oleh sebab itulah reformasi harus tetap diteruskan terutama reformasi mengenai perilaku polisi dan birokrasinya. Percuma mereformasi perilaku personil polisi apabila sistem birokrasinya tidak direformasi, begitu juga sebaliknya. Kedua bidang tersebut pada dasarnya beririsan pada satu titik, yaitu reformasi budaya polisi (police culture) atau lebih dikenal dengan istilah Police Gentlement.

Reformasi budaya di tubuh Polri seharusnya mengarah pada pembentukan polisi yang responsif dengan dukungan birokrasi yang bersifat postbirokratik yang secara konseptual lebih mengutamakan tujuan (purpose) dan bukan pada prosedur serta tidak terkungkung oleh aturan, sehingga karakter responsif Polri pada akhirnya dapat menuntun aparat kepolisian yang progresif, yang tidak menabukan diskresi yang valid dalam pelaksanaan tugasnya termasuk tugas sebagai garda terdepan dalam pemberantasan korupsi.

Menjadi polisi progresif kiranya bukanlah sekedar utopia, namun menjadi sebuah harapan kuat yang disertai tantangan dan berbagai hambatan yang kompleks. Ada 2 (dua) sayarat yang dibutuhkan untuk agen progresif dalam pelaksanaan penegakan hukum, termasuk oleh institusi Polri yaitu, Karakter Berani (braveness) dan Karakter Pejuang (vigilante) yang diharapkan mampu melakukan lompatan-lompatan baru di lingkungan Polri agar polisi-polisi progresif saling bermunculan, baik di tingkat Kapolsek, Kapolres, Kapolda bahkan Kapolri untuk menjadi pioner polisi progresif.

Sebagai suatu contoh dapat dilihat dari penanganan berbagai kasus kejahatan kontekstual yang terjadi di Provinsi Kepulauan Riau yang merupakan suatu upaya untuk membentuk karakter polisi yang memiliki watak progresif yang ingin menyelesaikan kasus dengan menghadirkan keadilan substantif, tidak selalu mengutamakan keadilan formal melalui jalur litigasi apalagi pidana. Bangsa Indonesia begitu plural dengan jenis-jenis hukum yang membingkai kehidupannya. Oleh karena itu, tidak cukup bagi kita bila hanya menggunakan hukum negara (state law) sebagai bahan dasar utama untuk mengkonstruksi penalaran hukum aparat penegak hukum. Tentunya dibutuhkan kerja keras untuk mengikut sertakan faset-faset hukum selain hukum perundang-undangan mengingat hukum itu sendiri bersifat multifaset, interdisipliner dan berarti komprehensif. DIRGAHAYU 78 TAHUN POLRI.

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed