Akademisi & Anggota Pusat Analisa Kebijakan Hukum dan Ekonomi Indonesia
Fenomena yang akhir-akhir ini santer terjadi dalam dunia hukum khususnya di Indonesia adalah aksi saling lapor satu pihak terhadap pihak yang lain kian ramai di ruang publik. Pemicunya beragam, mulai dari persoalan ketersinggungan antar pribadi, penyebaran informasi bohong dan kebencian, hingga dipicu perbedaan perkubuan dalam urusan politik. Bahkan, di titik yang paling ekstrem, aksi saling lapor juga mewabah di unit terkecil dalam kehidupan bermasyarakat, yakni keluarga. Anak melaporkan orangtua, begitu juga sebaliknya, orangtua melaporkan anaknya sendiri. Kondisi demikian pada akhirnya melahirkan wajah hukum yang bengis dan antagonistik. Hukum tampak menakutkan karena menjadi alat serang satu pihak atas pihak lainnya. Hukum layaknya seperti alat perangkap yang siap memperkarakan siapa saja yang terpeleset. Padahal, esensi hukum sejatinya adalah sebagai medium untuk tertib sosial yang semestinya menjadi jalan mengharmonikan berbagai pemangku kepentingan di tengah masyarakat antara satu pihak dengan pihak lainnya. Harmonisasai yang dicita-citakan oleh penerapan hukum yang berlaku dapat dilihat dari sisi komposisi sumber hukum materiil, yang dimulai dari historis, filosofis, hingga sosiologis, bahkan, di titik lainnya, kaidah hukum sangat erat berdampingan dengan kaidah-kaidah lainnya, seperti agama, kesusilaan, bahkan adat/tradisi.
Dalam konteks negara demokrasi konstitusional, hukum merupakan hasil dari kesepakatan dan persetujuan warga negara. Dalam sistem keterwakilan, persetujuan warga negara tersebut diwakili oleh wakil rakyat dengan memaksimalkan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation). Dalam konteks relasi negara dan warga negara, hukum juga berperan besar mengatur dan memberikan proteksi melalui administrasi negara yang bertujuan agar warga negara mendapat perlindungan akibat tindakan penyelenggara negara. Di sisi lain, hukum administrasi negara dapat menghindarkan tindakan negara agar tidak berbuat sewenang-wenang terhadap warga negara, inilah hakekat dari hukum, kehadirannya dibutuhkan untuk mewujudkan kehidupan yang harmoni.
Namun, tidak dapat dipungkiri akhir-akhir ini kita menyaksikan fenomena berbagai perobahan tata kelola hukum yang sepertinya sangat jauh dari harapan bahkan cenderung menjadi lebih menakutkan. Hukum menjadi pendulum disharmoni, kehangatan antar sesama warga negara menjadi hambar. Hukum yang mestinya menjadi perekat justru menjadi peretak antar sesama. Situasi yang terjadi belakangan ini tak terlepas dari kompleksitas masalah di ranah hukum itu sendiri. Masalahnya dari hulu hingga hilir yang bermuara dari proses pembentukan hukum hingga proses penegakan hukum.
Saat ini, perlu adanya ketegasan mengenai hukum harus dikembalikan pada fungsi dan tujuan dasarnya, yakni untuk keadilan, kebahagiaan, serta ketertiban secara damai dan adil. Kompleksitas masalah hukum tersebut pada akhirnya terdistorsi dengan praktik simplifikasi hukum berupa sekadar pasal, ayat, dan undang-undang. Makna hukum yang semestinya menjadi salah satu komponen terciptanya peradaban kemanusiaan sebagaimana disebut JJ Honigmann dalam The World of Man (1959) justru menjadi sempit, pengap, dan tampak tak beradab. Di titik inilah pentingnya menaati prosedur pembentukan hukum. Aspek formil pembentukan peraturan perundang-undangan menjadi dasar berpijak untuk menghadirkan produk hukum yang merepresentasikan kehendak publik. Apalagi, norma hukum berkarakteristik ought (keharusan) dan preskriptif, bukan deskriptif. Upaya tersebut secara simultan diikuti dengan penegakan hukum yang berkeadilan yang tidak sekadar menegakkan teks aturan an sich, tetapi penegakan hukum yang mendasari pada aspek kemanusiaan dan keadilan.
Dengan cara pandang demikian, penegakan hukum dapat terhindar dari perangkap praktik negosiasi yang didasari kepentingan pragmatis dan bertentangan dengan norma hukum dan etik. Penegakan hukum yang berorientasi pada keadilan dan kemanusiaan secara linier juga akan melahirkan aparat penegak hukum yang baik, yakni aparatur penegak hukum yang bekerja dengan tegak lurus dengan menjadikan kemanusiaan dan keadilan sebagai kompas pemandunya. Perbaikan hukum dari sisi hulu hingga hilir ini pada akhirnya akan memberi dampak konkret pada lahirnya budaya hukum yang termanifestasikan melalui perilaku individu sebagai anggota masyarakat yang menggambarkan orientasi terhadap kehidupan hukum yang dihayati oleh masyarakat (Hilman Hadikusuma, 1986). Budaya hukum ini pada akhirnya akan melahirkan pemahaman masyarakat terhadap hukum secara tepat. Baik dalam orientasi pelaksanaan norma yang seharusnya (sollen) dilaksanakan terdapat dalam hukum maupun orientasi meninggalkan larangan yang juga tertuang dalam norma. Dalam kondisi tersebut, hukum tak dimaknai sebagai senjata, amunisi, atau bahkan perangkap bagi yang lainnya. Hukum sejatinya dimaknai sebagai seperangkat nilai moral yang menjadi pemandu dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Moralitas, kata Immanuel Kant, akan muncul sepanjang tindakan seseorang bertindak berlandaskan rasa kewajiban (Betrand Russel, 1946).
Keadaban Publik
Keadaban bersama di ruang publik menjadi hal yang mendesak untuk dihadirkan saat ini. Keadaban ini sebagai dasar dalam berhubungan antar sesama, hubungan antara negara dan warga negara, dan antara lembaga negara dan lembaga negara lainnya. Keadaban di ruang publik didasari oleh sikap jujur, tulus, dan bertanggung jawab. Hal ini sejalan dengan amanat konstitusi kita dalam Pasal 28J Ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945. Manusia yang memiliki hak dan kebebasan harus didasari sikap yang bertanggung jawab dengan menghormati hak asasi pihak lainnya karena di saat yang sama, hak dan kebebasan juga memiliki batasan lain, yakni hukum, dan nilai lainnya yang tumbuh di tengah masyarakat. Keadaban publik juga harus menjadi pedoman bagi penyelenggara negara dalam menjalankan aktivitas pemerintahan. Prinsip-prinsip pengelolaan pemerintahan yang baik (good governance), seperti transparansi, partisipasi, dan inklusi, harus menjadi prioritas dan benar-benar diterapkan. Keadaban publik juga senantiasa harus dilakukan secara terus-menerus oleh institusi demokrasi, seperti lembaga parlemen, partai politik, para politikus, dan semua pemangku kepentingan di tengah kekhawatiran regresi demokrasi yang terjadi di Indonesia.
Begitu juga kelompok masyarakat sipil dan opinion leader agar menjadi pelopor untuk mempromosikan keadaban publik. Ruang publik harus diisi dengan narasi kebersamaan yang jauh dari pembelahan ”kita” dan ”mereka”, ”aku” dan ”kamu”. Terlebih, seperti apa yang dikatakan oleh Bung Hatta menyebut konsepsi kedaulatan rakyat yang tumbuh di Indonesia ini tak lain didasari pada kolektivisme, keguyuban, dan kebersamaan. Semua ikhtiar ini, tentu saja, dilakukan dalam rangka mewujudkan hukum sebagai perekat, bukan peretak di antara sesama anak bangsa. Semoga.(***)
Komentar