oleh

FENOMENA NEGARA, HUKUM DAN DEMOKRASI

-Nasional-864 views

Oleh: Dr. Firman Tobing

Akademisi & Anggota Pusat Analisa Kebijakan Hukum & Ekonomi Indonesia

Pada hakikatnya negara Indonesia menganut prinsip Rule of Law atau negara yang dijalankan oleh hukum yang memberikan jaminan bahwa hukum harus dibangun dan ditegakkan dengan mengacu pada prinsip-prinsip demokrasi dan berdasarkan pada kedaulatan yang berada di tangan rakyat yang dilakukan menurut Undang-Undang Dasar. Singkatnya adalah negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui sistem demokrasi. Oleh karena itu hukum di alam demokrasi seperti di Indonesia, tidak boleh dibuat, ditetapkan dan ditegakkan dengan “tangan besi” atau dengan kekuasaan belaka, ia harus melibatkan partisipasi rakyat. Hal ini pulalah yang memunculkan adanya korelasi antara negara, hukum dan demokrasi, bahwa dalam negara hukum harus ditopang oleh suatu sistem demokrasi, demokrasi tanpa pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sedangkan hukum tanpa demokrasi akan kehilangan makna.

Harus diakui bahwa dalam paham negara hukum dan demokrasi mempunyai suatu tujuan, seperti membatasi kekuasaan pemerintah dan menolak segala bentuk kekuasaan yang tanpa batas yang pada akhirnya akan memposisikan demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan yang bertumpu pada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi untuk membuat keputusan-keputusan politik dan bukan pada seseorang (diktator) ataupun sekelompok orang (oligarki). Hal ini sekaligus memberikan legitimasi suatu kekuasaan politis atau wewenang untuk memerintah rakyat secara sah seperti, sejauh mana kekuasaan itu dipercaya, didukung serta diakui oleh rakyat yang lazimnya diistilahkan dengan Legitimasi Demokratis dan sejauh mana pula kekuasaan politis itu dapat bekerja untuk menciptakan apa yang menjadi aspirasi dan cita-cita rakyat dan negara sehingga mendapat dukungan dan diakui oleh masyarakat.

Oligarki Kekuasaan di Negara Demokrasi

Oligarki merupakan sebuah sistem politik, di mana pihak yang memerintah terdiri atas sejumlah orang yang dalam menjalankan roda pemerintahan yang selalu menggunakan segala cara agar rakyat dapat dikendalikan dan dikuasai. Sistem seperti ini disebut dengan pemerintahan dari atas. Negara hanya dijadikan alat untuk mencapai tujuan kelompok-kelompok elit tertentu sehingga tujuan yang menyangkut kesejahteraan rakyat, keadilan dan kemerdekaan perorangan akan sangat sulit untuk diwujudkan.

Satuhal yang tidak bisa dipungkiri bahwa topik mengenai ‘oligarki’ menjadi sesuatu yang menarik untuk diperbincangkan. Bagaimana tidak, fenomena oligarki justru acapkali muncul di beberapa negara yang mengakui diri sebagai negara yang demokratis, justru kerap kali menjadi cikal bakal penciptaan oligarki itu sendiri. Tidak terkecuali di Indonesia, salah satu institusi yang turut andil dalam situasi seperti itu adalah keberadaan partai politik yang berkembang di Indonesia yang menonjolkan figur utama atau para elit yang ada di dalam suatu partai politik yang menjadi penentu dalam berbagai hal yang pada akhirnya akan muncul sebagai representasi ideologis atau historis. Figuritas di kebanyakan partai mayoritas disebabkan karena adanya faktor “momen historis” yang menyebabkan seorang figur begitu mencuat ke permukaan dan mendapat dukungan yang sangat luas.

Jeffrey A. Winters dalam bukunya Oligarchy membagi oligarki atas dua dimensi. Pertama, oligarki yang dibangun atas dasar kekuatan modal kapital yang tidak terbatas sehingga mampu menguasai dan mendominasi simpul-simpul kekuasaan; Kedua, oligarki yang beroperasi dalam kerangka kekuasaan yang menggurita secara sistematik. Akibatnya, ketika partai menganut sistem oligarki maka akan terjadi pembungkaman suara rakyat. Bagi elit oligarki, suara rakyat dianggap tidak jelas dan tidak diakui, suara rakyat hanya diakui dalam masa-masa pemilihan umum. Dampak lebih luas akan terjadi terutama disaat adanya pembungkaman suara rakyat, rakyat akan merasa apatis terhadap politik yang pada akhirnya praktik-praktik oligarki kekuasaan sesungguhnya dapat menyebabkan kollaps-nya Negara Hukum yang akan diikuti dengan matinya demokrasi itu sendiri.

Indonesia sebagai negara bangsa oriental yang tidak terlepas dari pengaruh baik/buruk berbagai perkembangan global. Namun, sangat disadari bahawa Indonesia memiliki dasar pengembangan negara bangsa untuk mencapai cita-cita dan tujuan nasionalnya, yaitu Pancasila. Ketiga nilai hukum yang terkandung di dalam Pancasila; Ketuhanan yang menjadi dasar dan meliputi segala sila, nilai hukum kebiasaan (persatuan, demokrasi, kesejahteraan) serta nilai hukum internasional (kemanusiaan dan HAM). Ketiga nilai tersebut yang menjadi kesepakatan membentuk NEGARA BERDASARKAN HUKUM sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 yang dibangun berdasarkan atas KETUHANAN YANG MAHA ESA (Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945). Hal inilah yang secara konkrit disebut dengan Negara Hukum Transdental yang mampu mengantarkan bangsa Indonesia pada pemahaman bahwa sebagai bangsa harus membuka mata dan menyadari untuk kembali menjadi manusia yang mengutamakan ajaran agama yang dianut, karena apa yang kita bawa sejak lahir dan menginginkan wafat dengan tetap berpegang teguh pada keyakinan tersebut. Bukankan agama itu menjadi penetu yang utama atas jatuh bangunnya sebuah peradaban manusia, termasuk juga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Negara hukum dengan peradaban tinggi adalah negara hukum yang senantiasa menjunjung tinggi ajaran agama, apapun agama yang dianut rakyatnya, bukan negara hukum yang sekular. Negara hukum sekular inilah yang kemudian menjadi pemicu munculnya karakter oligarkis dalam kelompok orang yang menjalankan kekauasaan negara. Negara hukum yang demokratis seharusnya mampu melindungi rakyatnya, menjamin pemenuhan apa yang menjadi hak-haknya terutama mengenai HAM, bukan sebaliknya menindas dan membungkam rakyatnya.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed