Oleh: Dr. Firman Tobing
Akademisi & Anggota Pusat Analisa Hukum & Ekonomi Indonesia
Sejarah demokrasi di Indonesia mengalami dinamika yang cukup kompleks dan menjalani perkembangan yang sangat dinamis. Sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta jiwa, Indonesia telah melalui berbagai tahapan perjalanan demokrasi yang dimulai dengan Demokrasi Parlementer (1945-1959), Demokrasi Terpimpin (1959- 1965), Demokrasi Pancasila era Orde Baru (1965-1998), Demokrasi Reformasi (1998-sekarang). Satu yang melekat dalam sistem demokrasi yang dianut Indonesia adalah Demokrasi Pancasila yang sekaligus dasar penerapan demokrasi dalam sistem pemerintahannya yang berisikan prinsip kerakyatan, hikmat kebijaksanaan, permusyawaratan dan prinsip perwakilan.
Pada dasarnya demokrasi merupakan konsep pemerintahan yang identik dengan kedaulatan rakyat. Dimana dalam konsep pemerintahan yang demokratis menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasan tertinggi dalam melaksanakan pemerintahan suatu negara. Demokrasi pertama-tama merupakan gagasan yang mengandaikan bahwa kekuasaan itu adalah dari, oleh dan untuk rakyat. Dalam pengertian yang lebih partisipatif demokrasi bahkan disebut sebagai konsep kekuasaan dari, oleh, untuk, dan bersama rakyat. Artinya kekuasaan itu pada pokoknya diakui berasal dari rakyat, dan karena itu rakyatlah yang sebenarnya menentukan dan memberi arah serta yang sesungguhnya menyelenggarakan kehidupan kenegaraan.
Demokrasi Pancasila sebagai corak pemerintahan yang dipilih dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan pada waktu lalu ternyata belum dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen dalam praktik. Ketidakkonsistenan dalam melaksanakan Demokrasi Pancasila telah membawa dampak buruk terhadap penyelenggaraan negara dan pemerintahan bukan hanya pada masa lalu, tetapi juga masa sekarang atau masa yang akan datang. Bahkan, Demokrasi Pancasila sempat redup dalam kancah ketatanegaraan dan politik Indonesia setelah memasuki era baru yang disebut dengan era reformasi karena Demokrasi Pancasila dianggap sebagai peninggalan rezim Orba.
Berbicara tentang Demokrasi Pancasila sampai saat ini sebenarnya belum ada kejelasan dan kesepakatan terkait dengan pengertian, mekanisme, bentuk, pengaturan, pelaksanaan, dan sebagainya. Hal itu menunjukkan bahwa istilah Demokrasi Pancasila sebenarnya belum memiliki pengertian yang ajeg dan baku di dalam literatur baik berupa doktrin maupun dalam peraturan perundang-undangan. Sampai saat ini, pengertian Demokrasi Pancasila masih sering berubah-ubah sesuai dengan konsepsi dan pandangan masing-masing pakar atau penyelenggara negara dan pemerintahan. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan Demokrasi Pancasila masih mengalami perkembangan dan pasang-surut sesuai dengan sifat dan karakter penyelenggara negara dan pemerintahan. Dengan kata lain, Demokrasi Pancasila ditafsirkan sesuai dengan keinginan pihak-pihak yang berkepentingan.
Demokrasi Indonesia, Quo Vadis?
Harus diakui pula, bahwa sepanjang hayatnya demokrasi seringkali berbenturan dengan kepentingan politik yang membuat demokrasi kehilangan maknanya sebagai suatu sistem pemerintahan berbasis kedaulatan rakyat. Kepentingan politik telah mereduksi makna demokrasi sehingga demokrasi hanya menjadi sekedar formalitas politik. Demokrasi yang seharusnya mencakup kebebasan berpendapat hingga kesejahteraan rakyat kini hanya sebatas demokrasi elektoral.
Demokrasi Indonesia kini mungkin bisa kita sebut sedang “terjebak” dalam elektoralisme. Demokrasi menjadi sekedar formalitas dalam rutinitas pemungutan suara tiap diadakannya kontestasi politik lima tahunan, baik eksekutif maupun legislatif di berbagai tingkatan. Bahkan demokrasi elektoral ini melahirkan turunan dampak buruk yang mengekor seperti pemborosan anggaran dan polarisasi sosial dalam masyarakat. Monopoli demokrasi elektoral oleh elit politik sarat dengan permainan politik identitas yang memecah belah. Narasi “us vs them” (kita vs mereka) begitu kental dan akhirnya melahirkan polarisasi. Narasi ini membuat terjadinya dikotomi antar pendukung calon begitu mengakar kuat. Seolah-olah ada dua kelompok yaitu kita dan mereka. Masing-masing kelompok menganggap kelompoknya benar sementara kelompok lain salah.
Reduksi makna demokrasi ini sebenarnya juga diakibatkan oleh masyarakat itu sendiri. Jauh sebelum demokrasi modern sebenarnya filsuf asal Yunani yakni Socrates pernah mengatakan bahwa demokrasi adalah sistem yang buruk jika tidak adanya pemahaman politik yang setara antar masyarakat. Tanpa adanya pemahaman yang setara maka demokrasi akan dimonopoli oleh kelompok dengan intelektualitas yang lebih tinggi. Sebagian masyarakat dengan pemahaman politik yang rendah cenderung akan apatis dan hanya mengikuti arus opini publik saja sehingga monopoli demokrasi oleh elit politik rentan terjadi. Seperti pada masa orde baru dimana rezim orde baru menggaungkan pancasila dalam setiap manifestasi pemerintahannya seperti penyebutan Demokrasi Pancasila dan Sistem Ekonomi Pancasila. Padahal dalam implementasinya rezim orde baru memonopoli demokrasi sehingga dalam setiap pemilu selalu terpilih pemenang yang sama. Bahkan calon lawan hingga pers yang kritis dibredel supaya tidak menghambat jalannya kepentingan oligarki politik orde baru. Tidak hanya dalam pemilu namun monopoli ini juga diterapkan dalam implementasi kebijakan atau program pembangunan yang sarat akan Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN).
Demokrasi seharusnya sepaket dengan kebebasan berpendapat, kesejahteraan rakyat, penegakan hukum, perlindungan HAM, dan keadilan sosial. Namun paket lengkap demokrasi ini nampaknya harus kita perjuangkan agar kita dapat menikmatinya padahal seharusnya bisa kita dapatkan secara gratis. Harapan akan demokrasi Indonesia yang paripurna haruslah terus dinyalakan dan dipantik kepada setiap warga negara. Demokrasi Indonesia kini harus kembali menempuh jalan panjang. Semoga nafas demokrasi terus ada seiring dengan panjangnya jalan yang harus dilalui. SEMOGA.-
Komentar