oleh

FENOMENA KUHP BARU: ANTARA PENEGAKAN HUKUM DAN KUALITAS DEMOKRASI

-Nasional-848 views

Oleh: DR. Firman Tobing

Akademisi & Anggota Pusat Analisa Kebijakan Hukum dan Ekonomi Indonesia

Beberapa waktu lalu, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dari segi formal pengesahan ini merupakan capaian yang baik, dalam rangka mewujudkan hukum pidana nasional Republik Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta asas hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa, sekaligus menggantikan KUHP warisan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda (Wetboek van Strafrecht). Namun demikian, pasca pengesahan KUHP baru ini, muncul pertanyaan, apakah KUHP (baru) itu akan mampu menciptakan kemajuan di bidang penegakan hukum dan meningkatkan kualitas kehidupan berdemokrasi kita?

Tidak dapat dipungkiri kehadiran KUHP baru tersebut merupakan capaian yang sudah sewajarnya mendapatkan apresiasi, terutama dalam bidang politik hukum. Namun, di sisi lain, hal ini akan memungkinkan timbulnya masalah dalam politik penegakan hukum di Indonesia. Politik hukum dan politik penegakan hukum adalah dua hal yang berbeda. Politik hukum pada dasarnya merupakan garis kebijakan resmi tentang hukum yang akan diberlakukan, baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama dalam rangka mencapai tujuan negara. Politik hukum juga merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan, sekaligus merupakan pilihan tentang hukum yang akan dicabut atau tidak lagi diberlakukan yang semuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.

Di sisi lain, politik penegakan hukum akan selalu terkait dengan norma hukum yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan penegakan hukum itu sendiri. Dari segi norma yang diusung, dapat dilihat adanya beberapa potensi masalah dalam penegakan hukum ke depan. Beberapa frasa yang multitafsir misalnya dalam hal paham yang bertentangan dengan Pancasila. Dalam Pasal 189 huruf (a) menggunakan kata “patut diduga” Dalam Pasal 263 ayat (2) dalam hal penyebaran berita bohong juga menggunakan frasa “patut diduga”. Dalam beberapa jenis pidana yang lain juga menggunakan frasa yang sama dapat diartikan oleh sebagian orang bahwa seseorang dapat dijerat dan menjadi tersangka atas dasar dugaan. Pasal-pasal semacam itu sudah barang tentu akan membuka peluang terjadinya politik penegakan hukum yang tidak sehat.

Gejala-gejala lain yang bisa saja memungkinkan masyarakat akan terpolarisasi dapat dilihat dari beberapa pasal yang terdapat dalam KUHP Baru seperti yang terdapat dalam Pasal 160 KUHP Baru tentang Makar. Pasal ini menentukan bahwa bukan hanya percobaan makar yang dapat dipidana tetapi juga “persiapan” untuk makar. Jadi ada perbuatan persiapan yang dianggap sebagai satu langkah sebelum melakukan percobaan, (KUHP lama tidak mengatur mengenai hal ini). Selanjutnya, Pasal 15 KUHP Baru bahwa kategori persiapan termasuk di dalamnya jika pelaku berusaha untuk mendapatkan atau menyiapkan sarana berupa alat, mengumpulkan informasi atau menyusun perencanaan tindakan atau melakukan tindakan serupa yang dimaksudkan untuk menciptakan kondisi untuk dilakukannya suatu perbuatan. Konsep tentang persiapan makar ini dapat berpotensi digunakan sebagai alat untuk mempidanakan orang-orang tertentu yang memiliki perbedaan pandangan dengan pemerintah.

Hal yang tidak kalah penting, yang patut menjadi sorotan dalam KUHP Baru ini adalah mengenai prinsip-prinsip demokrasi seperti dalam hal menyuarakan pendapat/demonstrasi yang diatur dalam Pasal 256, di mana unjuk rasa atau demonstrasi harus memberi tahu terlebih dahulu pihak yang berwenang. Tanpa melakukan itu, dapat dikenai pidana. Pasal seperti ini tampak biasa. Karena untuk melakukan demonstrasi cukup melakukan pemberitahuan pada pihak berwenang. Namun, jika dikaitkan dengan Pasal 351 akan menjadi tidak lazim. Pasal 351 ini bicara tentang pengabaian terhadap perintah pejabat. Di mana pengabaian perintah atau petunjuk pejabat yang berwenang yang diberikan untuk mencegah terjadinya kecelakaan dan menghindarkan kemacetan ketika ada keramaian dapat dikenai pidana.

Dalam penjelasan Pasal 351 ditegaskan bahwa keramaian termasuk di dalamnya adalah unjuk rasa atau demonstrasi. Dari sini dapat dilihat dari konstruksi berpikir dalam masalah demonstrasi ini. Di mana untuk dapat melakukan demonstrasi harus melakukan pemberitahuan kepada yang berwenang, dan kemudian yang berwenang itu memberikan petunjuk. Dan pengabaian terhadap petunjuk itu oleh peserta demonstrasi dapat dikenai pidana. Hal seperti ini dapat membatasi ruang gerak demonstrasi. Di dalam kata “petunjuk” itu memungkinkan yang berwenang untuk memberikan kelonggaran, atau sebaliknya, ruang gerak demonstrasi dapat dibatasi. Melalui mekanisme seperti ini, terlihat adanya pembatasan demonstrasi yang bertentangan dengan prinsip demokrasi dan membuka terjadinya peluang penegakan hukum yang tidak sehat.

Ancaman Polarisasi

Hal krusial lainnya adalah Pasal 240 tentang penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara yang dapat dikenai pidana berdasarkan aduan oleh pimpinan pemerintah atau lembaga negara. Dalam hal ini, kita akan sangat sulit membedakan antara penghinaan dan kritik. Padahal, menyampaikan kritik terhadap kinerja pemerintah atau lembaga negara merupakan bentuk dari prinsip demokrasi. Jika dikaitkan dengan politik hukum yang dipilih oleh pemerintah saat ini, bisa saja menimbulkan terjadinya polarisasi karena KUHP Baru ini akan menyulitkan advokasi semua orang yang kritis atau bagi mereka yang mencoba kritis kepada pemerintah. KUHP baru ini membuka peluang untuk menjadi alat pemutus stigma yang berkembang karena banyak sekali pasal-pasal yang bisa di tafsirkan secara luas. Apabila hal ini terjadi, maka yang terancam sebenarnya bukan hanya hukum pidana atau hukum Indonesia saja, tetapi juga kualitas demokrasi di Indonesia, di mana ruang-ruang sipil akan dihambat secara masif oleh pasal-pasal yang disediakan oleh KUHP Baru.

Terlepas dari hal yang tersebut di atas, bagaimanapun KUHP Baru sudah disahkan menjadi undang-undang/norma hukum. Penegakan hukum tidak bisa dipisahkan dari norma hukum karena penegakan hukum itu sendiri sangat dipengaruhi oleh norma yang berlaku. Dari segi politik penegakan hukum, norma-norma yang terdapat dalam KUHP Baru cukup krusial karena berpotensi menurunkan kualitas demokrasi. Oleh karena itu, ke depan, dalam melaksanakan penegakan hukum, diperlukan adanya pengawasan dan pengawalan semua pihak agar apa yang dikhawatirkan tidak terjadi. SEMOGA

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed