OLEH: DR. FIRMAN TOBING
AKADEMISI & ALUMNI LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
(LEMHANNAS – RI)
Harus diakui bahwa antara negara hukum dan demokrasi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Apabila keduanya digabungkan makan akan melahirkan Negara Hukum Demokratis. Kompleksitas keberadaan demokrasi dalam masyarakat yang bersifat multi-dimensional secara filosofis diartikan sebagai ide, norma dan prinsip, sedangkan secara ideologis demokrasi merupakan sistem sosial, dan secara psikologis demokrasi adalah wawasan, sikap dan perilaku individu dalam hidup bermasyarakat.
Di Indonesia sistem demokrasi yang diterapkan adalah Sistem Demokrasi Pancasila yang merupakan demokrasi konstitusional dengan mekanisme kedaulatan rakyat yang dalam peneyelenggaraan negara dan pemerintahannya harus berdasarkan dan sesuai dengan konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), hal ini pulalah yang menjadi latar belakang Indonesia menjadi Negara Hukum Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945: Negara Indonesia adalah Negara Hukum artinya seluruh sendi kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus berdasarkan pada norma-norma hukum.
Rumusan negara hukum dalam pandangan Aristoteles adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin adanya keadilan bagi warga negaranya untuk mencapai kebahagiaan hidup yang di dalamnya mengajarkan kesusilaan bagi setiap warga negara. Setiap peraturan dalam negara hukum harus mampu mencerminkan keadilan dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Dalam konteks ini, Aristoteles mengatakan bahwa, yang memerintah negara bukanlah manusia, melainkan “pikiran yang adil”, penguasa dalam hal ini hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja, kendati hukum dan keadilan acapkali dikatakan sebagai dua sisi dari satu mata uang, namun satu hal yang harus dicermati bahwa, menegakkan hukum tidak sekaligus menghadirkan keadilan.
Oligarki Kekuasaan di Negara Demokrasi
Oligarki merupakan sistem politik di mana pihak yang memerintah terdiri atsa sejumlah orang atau sekelompok orang yang dalam menjalankan pemerintahan selalu menggunakan segala cara agar rakyat dapat dikendalikan atau dikuasai. Dibeberapa negara yang mengakui diri sebagai negara demokrasi, termasuk Indonesia, kerap muncul sebuah fenomena, di mana lembaga-lembaga demokrasi terjebak dalam praktik oligarki bahkan yang lebih parah lagi, menjadi akar bagi terciptanya oligarki itu sendiri.
Munculnya oligarki dalam negara hukum demokrasi tidak terlepas dari beberapa faktor, antara lain, Pertama, adanya keberadaan figur utama atau elit partai yang menjadi penentu dalam berbagai hal yang dilatarbelakangi karena pada beberapa partai tidak mendapatkan figur pengganti. Keberadaan “orang kuat” dalam suatu partai, tidak terlepas dari representasi ideologis atau historis. Dalam konteks Indonesia, sosok/figur memainkan peran kesejarahan partai yang timbulnya penghormatan yang berlebihan sehingga keberadaannya beserta inner circle demikian kokohnya.
Kedua, adanya ketergantungan financial partai pada sumber-sumber keuangan yang dimiliki oleh figur-figur tertentu. Praktik ini lebih dikenal dengan istilah “Firma Politik” yang menggambarkan adanya ketergantungan finansial yang merembet pada struktur pembentukan partai yang pada akhirnya akan berpengaruh pada bagaimana sebuah partai dikelola. Partai yang mengalami ketergantungan finansial akan cenderung bersifat ultra sentralistis yang berperan sebagai pelayan bagi kepentingan sekelompok elit tertentu saja.
Ketiga, adanya pelembagaan partai yang belum sempurna. Pelembagaan partai pada dasarnya merupakan suatu kondisi ketika sistem yang dibangun dengan segep aturan main dijalankan secara konsisten sembari membangun pola sikap dan budaya dalam partai. Saat ini, harus diakui bahwa pelembagaan partai masih berjalan stagnan bahkan mengalami regresi. Sistem dan berbagai aturan partai ditafsirkan dan disesuaikan dengan kepentingan elit dan jaringan oligarkinya. Keempat, terkait dengan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga partai yang memberikan landasan penguatan peran para elit partai. Kondisi ini pada akhirnya akan mendorong terjadinya perluasan rekayasa penciptaan “kepatuhan buta” yang mengorbankan semangat untuk kritis dan objektif.
Kelima, faktor eksternal juga turut mempengaruhi aturan main dalam kepartaian yang secara umum memberikan celah bagi partai-partai untuk membangun oligarki dalam sebuah partai. Salah satu contoh dalam hal ini adalah, pemberlakuan syarat ambang batas presiden maupun pencalonan kepada daerah yang memberikan peluang pada elit-elit partai untuk saling bermanuver membangun koalisi yang disadari atau tidak berkontribusi secara tidak langsung bagi pengokohan kekuasaan elit maupun ketergantungan kader pada manuver para elit.
Jika melihat realitas yang menggejala dalam tubuh partai politik di Indonesia, sangat jelas terlihat praktik-praktik oligarki seperti penyakit yang sudah akut. Nyaris semua partai yang ada dikuasai oleh segelintir elit yang memiliki kapital dan sosial yang kuat. Ketika partai-partai menganut sistem oligarki, maka akan terjadi pembungkaman suara rakyat. Bagi elit oligarki, suara rakyat hanya diakui 5 tahun sekali, dampak yang lebih luas akibat pembungkaman tersebut adalah timbulnya rasa apatis pada sebagian besar masyarakat terhadap politik itu sendiri.
Harus menjadi renungan bagi kita semua, bahwa oligarki kekuasaan sesungguhnya dapat menyebabkan kolapsnya negara hukum yang secara otomatis akan mematikan prinsip demokrasi. Singkatnya, ketika oligarki kekuasaan telah muncul maka mesin demokrasipun sebenarnya telah di ambang senja, dan pertanyaan tentang ”How Democracies Die” pun akan terjawab.
Komentar