oleh

REFORMASI BIROKRASI: ANTARA HARAPAN & KENYATAAN

-Nasional-609 views

OLEH: DR. FIRMAN TOBING

AKADEMISI & ANGGOTA PUSAT ANALISA KEBIJAKAN HUKUM DAN EKONOMI INDONESIA

Fenomena yang menarik jika membicarakan perihal birokrasi, acapkali memunculkan stigma negatif secara di benak kebanyakan orang bahkan di seluruh belahan dunia. Pernyataan Kanselir Jerman Otto Von Bismarck (1870-1890) yang mengatakan bahwa “birokrasi adalah apa yang mendatangkan kesengsaraan bagi kita”. Hal ini pulalah yang menjadi pemicu berbagai negara untuk melaksanakan gerakan reformasi birokrasi yang memang tidak bisa ditunda lagi karena disadari atau tidak, hakekat dari birokrasi adalah mesin negara yang berfungsi menjalankan seluruh tugas pemerintahan dan pembangunan dalam rangka merealisasikan tujuan negara sebagaimana termaktub dalam konstitusi sebuah negara.

Di Indonesia, reformasi birokrasi sesungguhnya bukanlah hal yang baru sebagaimana telah tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang hakekat mendasarnya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, harus diakui pula bahwa gerakan reformasi yang selama ini dilakukan belum membawa hasil yang memadai. Berkaca pada pengalaman masa lalu, di era pemerintahan Orde Baru fenomena yang hingga saat ini masih “menggelayut” dan sangat sulit untuk dirobah. Praktik-praktik birokrasi yang sangat dominan dalam memformulasikan, menjalankan dan mengevaluasi berbagai kebijakan publik justru tidak berhasil memecahkan berbagai persoalan bahkan justru menimbulkan masalah baru. Dalam sistem yang otoriter tersebut, pada gilirannya rakyat akan mengalami kegagalan dalam melakukan proses check and balance terhadap hak prerogatif dan kebijakan yang dijalankan oleh penguasa. Minimnya partisipasi rakyat dalam setiap proses perumusan pelaksanaan dan evaluasi kebijakan publik menyebabkan kegagalam dalam membangun akuntabilitas pemerintahan. Hal ini makin diperparah oleh minimnya transparansi dan tidak adanya sistem yang mengkaji kinerja pemerintahan yang pada akhirnya rakyat tidak mendapat ruang gerak yang memadai untuk melakukan kontrol secara konstruktif.

Arah Reformasi Birokrasi

Perkembangan reformasi dewasa ini lebih mengarah kepada “reformasi administrasi” digunakan untuk mendiskripsikan aktivitas yang sebenarnya jauh melampaui makna yang terkandung di dalamnya. Setiap reformasi yang dilakukan terhadap aparatur administrasi, baik di tingkat pusat maupun daerah dipandang sebagai perubahan yang mengarah pada pembaharuan. Philip J. Cooper dalam bukunya, Public Administration for The Twenty First Century, menyebutkan bahwa, reformasi sebagai perubahan ke arah yang lebih baik yang berarti tidak semua perubahan dapat dikategorikan reformasi apabila pada akhirnya tidak mengarah pada kebaikan.

Tidak bisa dipungkiri bahwa tujuan dari pelaksanaan reformasi birokrasi adalah untuk mencapai adanya efisiensi dan efektivitas yang membawa berbagai perubahan-perubahan baik pada tingkat struktur maupun berbagai persoalan-persoalan yang berhubungan dengan kekuasaan yang bersifat formal. Untuk dapat mencapai keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi, harus memahami dua aspek utama, antara lain, Pertama, reformasi birokrasi harus dipandang sebagai perubahan struktural yang menuntut dilakukannya berbagai penyesuaian dalam hubungan kewenangan organisasi birokrasi, hal ini dapat dilakukan melalui cara penghapusan, penyatuan, penggabungan atau bahkan pembentukan unit-unit administrasi termasuk dalam hal ini penambahan fungsi dan tanggungjawab dinas. Kedua, yang paling utama sekali adalah memandang reformasi birokrasi sebagai perubahan perilaku aparatur yang dodorong untuk meningkatkan nilai produktivitas terhadap sistem yang ada. Perilaku aparatur harus pula mampu membangun partisipasi masyarakat, tidak berpihak dalam melayani kepentingan masyarakat, dan dapat mengembangkan transparansi dan akuntabilitas.

Disadari atau tidak, salah satu penyebab kegagalan reformasi birokrasi di Indonesia dapat ditelisik dari ketidak mampuan pemerintah untuk melakukan perubahan struktur, norma, nilai dan regulasi yang masih berorientasi kolonial. Akibatnya, pemerintah gagal untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Kualitas dan kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan publik masih jauh dari harapan karena belum terciptanya budaya pelayanan publik yang berorientasi pada kebutuhan pelanggan (service delivery culture). Kondisi seperti ini justru menimbulkan berbagai obsesi para birokrat dan politisi untuk menjadikan birokrasi sebagai lahan pemenuhan hasrat kekuasaan yang pada akhirnya melahirkan dan “mengukuhkan” budaya Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN).

Beranjak dari hal tersebut, faktor yang tidak kalah penting dalam memaknai reformasi birokrasi adalah aspek kepemimpinan yang sekaligus menjadi faktor utama keberhasilan reformasi birokrasi. Kepemimpinan yang kuat dan mempunyai integritas sangat dibutuhkan untuk menciptakan keberhasilan dan perubahan birokrasi ke arah yang lebih baik. Pengalaman masa lalu lemahnya faktor kepemimpinan mayoritas disebabkan karena kurangnya jiwa visioner seorang pemimpin yang tidak mampu memberikan keteladanan dan rendahnya moralitas dan kepekaan kepemimpinan, baik pada tingkat lokal maupun nasional. Terkait dengan hal ini, maka untuk dapat menciptakan pemerintahan yang kuat dan berwibawa diperlukan adanya komitmen yang harus diwujudkan oleh Pemerintah, terutama Presiden dan lembaga-lembaga negara lain, termassuk DPR dan Mahkamah Agung (MA). Komitmen untuk melakukan reformasi dan reposisi peran birokrasi (administrasi negara) dalam pembangunan dan komitmen dalam menegakkan hukum bagi setiap pelanggaran birokrasi, mulai dar mal administrasi hingga berkomitmen untuk “membunuh” perangai KKN. SEMOGA

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed