oleh

PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM KEJAHATAN MONEY LAUNDERING

-Opini-137 views

Oleh: Dr. Firman Tobing

Akademisi / Member of Law and Economic Academic Forum of Indonesia (LEAFI)

Pencucian uang (money loundering) merupakan jenis tindak pidana baru dalam referensi hukum pidana Internasional dan hukum pidana di Indonesia.

Meskipun jenis tindak pidana baru proses penegakan hukum terhadap tindak pidana pencucian uang berkaitan secara langsung terhadap kebijakan ekonomi nasional dan dapat berdampak luas terhadap neraca finansial dan perbankan nasional di suatu negara.

Dengan hilangnya sekat-sekat batas negara karena perkembangan ekonomi dan teknologi informasi, seringkali hal ini digunakan sebagai celah bagi para pelaku kejahatan lintas negara (transnational crime) untuk mengembangkan bisnis kotor mereka di negara lain.

Bahkan dalam beberapa kasus organisasi kejahatan seperti mafia dan kartel narkoba yang menyimpan harta kekayaan mereka di negara lain, perbuatan demikian disebut sebagai kejahatan pencucian uang (money loundering).

Secara sepintas kejahatan pencucian uang tidak seperti kejahatan konvensional lainnya seperti perampokan, pencurian dan pembunuhan yang memiliki korban dan akibat yang nyata, bahkan menurut Billy Steel yang dikutip dari Sutan Remy Sjahdeini dalam bukunya “Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang” mengemukakan bahwa “money laundering, it seems to be victimless crime”.

(pencucian uang, kelihatannya merupakan kejahatan tanpa korban).

Di Indonesia konsep tentang pencucian uang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disebut Undang-Undang PP TPPU) pada Pasal 1 angka 1 menyebutkan: “Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini”, atau dengan perkataan lain dapat disimpulkan bahwa pengertian pencucian uang (money laundering) sebagai suatu proses dari rangkaian kegiatan yang dijalankan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram yang berasal dari tindak pidana, yang kemudian disembunyikan atau disamarkan asal-usul uang haram tersebut melalui financial system, uang hasil kejahatan yang didapat secara melawan hukum, seolah-olah bukan uang yang bermasalah maka akan tercatat sebagai uang yang halal.

Pembuktian Terbalik Dalam Money Loundering

Konsep pembuktian terbalik yang digunakan dalam tindak pidana pencucian uang adalah konsep pembuktian terbalik yang terbatas dan berimbang. Maksud “terbatas” adalah pembuktian terbalik yang dibatasi pada tindak pidana tertentu, sedangkan maksud dari “berimbang” adalah penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.

Pembuktian terbalik yang terbatas dan berimbang tidak terlalu memberikan keringanan bagi jaksa penuntut umum. Alasannya adalah jaksa penuntut umum tetap mempersiapkan alat-alat bukti untuk memperkuat dakwaan tindak pidana pencucian uang dan penuntut umum juga berkewajiban membuktikan harta kekayaan terdakwa merupakan hasil dari tindak pidana.

Bahkan konsep pembuktian terbalik dapat digunakan sebagai celah oleh terdakwa atau penasihat hukum untuk dapat menyerang bukti-bukti yang diajukan oleh penuntut umum.

Oleh karena itu sangat diperlukan persiapan alat bukti yang matang dalam proses penyidikan agar proses pembuktian terbalik tidak menjadi bumerang bagi pihak jaksa penuntut umum sendiri karena terdakwa atau penasihat hukumnya dapat menyertakan bukti-bukti baru yang belum diverifikasikan sebelumnya dengan pihak jaksa penuntut umum.

oleh karena itu perlu juga ditingkatkan profesionalisme dan kompetensi penegak hukum baik itu Polri, Kejaksaan, BNN, KPK, Dirjen Bea Cukai, Dirjen Pajak agar konsep pembuktian terbalik dapat berjalan secara efektif dan efisien.

Konsep Follow The Suspect dan Follow The Money

Dalam ketentuan Pasal 1 Ayat (13) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU-TPPU) menyebutkan bahwa, Harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung. Kalimat “Harta Kekayaan” selalu tercantum dalam delik pencucian uang baik itu pencucian uang aktif dan pencucian uang pasif, bahkan unsur mengetahui dan patut diduga (knowledge or reason to know) bahwa harta kekayaan hasil dari tindak pidana merupakan unsur krusial dalam delik pencucian uang. Bahkan dapat dikatakan bahwa tanpa adanya harta kekayaan hasil tindak pidana maka tindak pidana pencucian uang dianggap tidak pernah terjadi.

Harus diakui bahwa saat ini di berbagai belahan dunia telah terjadi pergeseran paradigma penegakan hukum tindak pidana pencucian uang dari “follow the suspect” menuju orientasi pada aset atau harta kekayaan “follow the money” pengembalian aset tindak pidana untuk kepentingan negara ataupun pihak yang dirugikan merupakan tujuan utama dari konsep “follow the money”. Konsep “follow the money” juga memiliki pendekatan preventif yaitu pelaporan transaksi mencurigakan atau pengawasan terhadap institusi perbankan dan pendekatan represif yaitu pemidanaan pelaku dan perampasan harta kekayaan hasil kejahatan untuk memutus mata rantai kejahatan pencucian uang dan meruntuhkan roda bisnis dari organisasi kejahatan.

Dalam konsep “follow the money” apabila terjadi kejahatan pencucian uang maka penelusuran harta kekayaan merupakan salah satu aspek penting selain menangkap para pelaku pencucian uang. Konsep “follow the money” mendorong para penegak hukum untuk tidak tinggal diam menunggu kejahatan terjadi kemudian bertindak, melainkan selalu berkoordinasi dengan Financial Intelligence Unit (FIU) atau di Indonesia dikenal Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), yang mengawasi segala bentuk transaksi keuangan mencurigakan yang terjadi. Jika ditemukan aset yang mencurigakan asal usulnya maka penyidik Polri atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dapat memulai penyelidikan berdasarkan laporan dari PPATK.

Penegakan hukum kasus pencucian uang di Indonesia sampai saat ini masih berorientasi pada pelaku “follow the suspect” salah satu alasan untuk mendukung argumen ini adalah dalam pandangan hukum pencucian uang Indonesia sepanjang belum adanya pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana dalam perkara asal, maka segala hal terkait dengan aset tidak bisa dilakukan.

Pendekatan “follow the money” dan “follow the suspect” tidak dapat berjalan sendiri-sendiri.

Untuk memperoleh hasil yang maksimal dalam penegakan hukum yaitu memberi efek jera kepada pelaku dan memberikan detterent effect bagi publik dan merampas hasil tindak pidana untuk negara diperlukan kerja sama para penegak hukum untuk mengkombinasikan kedua pendekatan tersebut.

Oleh karena itu saat ini dibutuhkan payung hukum yang tegas yang mengatur tentang akibat hukum terhadap harta kekayaan hasil tindak pidana.

Namun tidak dapat ditampik bahwa proses penegakan hukum sangat tergantung pada political will dari semua stakeholder di negara Indonesia sebagai penentu arah kebijakan hukum pidana di negara ini, diperlukan juga peran aktif dari setiap pihak untuk menekan dan mengkritisi para stakeholder tersebut.

Dengan harapan agar para pemangku kepentingan tersebut sadar akan keadaan negara ini kemudian dengan segala upaya yang nyata memerangi tindak pidana pencucian uang bukan sebagai bentuk pencitraan agar dirinya kembali terpilih duduk di parlemen atau pemerintahan.

Dalam aspek pembuktian tindak pidana pencucian uang harus ada perubahan yang komprehensif dan tegas agar proses pembuktian terbalik (dalam pelaksanaannya lebih menjamin kepastian hukum) dan perlu segera disahkannya RUU Perampasan Aset yang saat ini sedang disusun di DPR RI agar dapat membantu instansi penegak hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia serta mendorong proses penegakan hukum yang lebih efektif yaitu dengan merampas aset hasil dari tindak pidana pencucian uang. SEMOGA.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed