oleh

Reformasi Hukum Dan Moralitas Para Penegak Hukum

-Nasional-114 views

Oleh: Dr. Firman Tobing

Akademisi/Anggota Pusat Analisa Kebijakan Hukum dan Ekonomi Indonesia

Pepatah kuno Kekaisaran Roma mengatakan Quid Leges Sine Moribus, artinya hukum tidak berarti banyak, kalau tidak dijiwai oleh moralitas. Pepatah ini menggambarkan bahwa hukum tidak bisa dipisahkan dengan moral, hukum harus memuat nilai-nilai moral, dalam bahasa lain dikatakan bahwa hukum merupakan kristalisasi nilai-nilai moral. Hukum tidak cukup diartikan sebagai aturan yang mengikat warganya saja, melainkan harus memiliki aspek keadilan dan asas lain yang berguna melindungi warganya dengan adil dan menjamin kepastian hukum bagi setiap warga negara, tanpa kecuali. Salah satu sarana penting untuk mewujudkan keadilan ditengah masyarakat, adalah norma hukum yang diformulasikan dari nilai-nilai yang berlaku ditengah masyarakat yang di dalamnya mencakup nilai etika dan moral, oleh karena itu penegakan hukum di tengah masyarakat harus selalu dijaga yang diiringi dengan nilai etika dan moralitas.

Reformasi hukum merupakan upaya yang dilakukan untuk melakukan perubahan atau pembaharuan terhadap sistem hukum yang ada dalam suatu negara. Tujuan dari reformasi hukum ini adalah untuk meningkatkan keadilan, efektivitas, dan efisiensi sistem peradilan, serta untuk menyesuaikan hukum dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Di Indonesia, reformasi hukum menjadi sebuah agenda penting yang terus diperjuangkan seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan tuntutan sosial. Sejak era reformasi tahun 1998, upaya reformasi hukum telah menjadi salah satu fokus utama pemerintah dalam rangka membangun sistem hukum yang lebih demokratis, transparan, dan akuntabel. Salah satu aspek utama dalam reformasi hukum adalah upaya untuk meningkatkan keadilan sosial. Keadilan sosial merupakan prinsip yang mendasari terbentuknya negara Indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Di sisi lain, berbanding terbalik dengan gebrakan yang dilakukan oleh tim Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menciduk Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta dan Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom bersama oknum panitera dan advokat dalam kasus suap terkait putusan lepas (Onslag) perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO), atau yang lebih dikenal sebagai skandal korupsi minyak goreng. Pertanyaan kritis selanjutnya adalah, lembaga penegak hukum mana lagi yang harus dipercaya oleh masyarakat jika para “Wakil Tuhan” pun terlilit pusaran arus kencang korupsi yang seolah-olah tiada pernah berhenti mengguyur para oknum penegak hukum, yang seharusnya memiliki moral, etika dan integritas tinggi yang menjadi ujung tombak dalam mempercantik wajah penegakan hukum.

Moralitas Penegak Hukum

Fenomena maraknya berbagai bentuk “permainan” dalam dunia penegakan hukum bukan lagi barang baru untuk diperbincangkan, termasuk keterlibatan oknum hakim dalam kasus-kasus korupsi memberikan gambaran nyata kepada masyarakat tentang kegagalan reformasi hukum khususnya pada lembaga peradilan. Jika mencari jawaban atas pertanyaan siapa yang bertanggungjawab terhadap kegagalan reformasi di tubuh lembaga peradilan, maka semua mata tentu akan mengarah pada Mahkamah Agung sebagai lembaga yang diberi amanah oleh undang-undang untuk melakukan pengawasan terhadap pekerjaan pengadilan dan tingkah laku para hakim dan perbuatan pejabat pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok Kekuasaan Kehakiman, yakni dalam hal menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, dan meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan serta memberi peringatan, teguran dan petunjuk yang diperlukan tanpa mengurangi kebebasan hakim (Pasal 32 Undang-Undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).

Harus diakui, berbagai hal telah dilakukan oleh pemerintah dalam upaya memberantas perilaku korupsi termasuk mengeluarkan berbagai peraturan-peraturan yang di atas kertas sangat tegas, namun semakin peraturan tersebut bersifat keras, maka perbuatan korupsi pun semakin menggila. Terlepas dari hal tersebut, beranjak dari kasus “minyak goreng” ini agaknya dapat dijadikan momentum untuk melakukan pembenahan (reformasi) ulang lembaga peradilan, termasuk juga lembaga-lembaga yang terkait dengan penegakan hukum lainnya, seperti menerapkan sanksi hukuman yang tegas dan memastikan efek jera dalam penerapan hukumnya, seperti menerapkan hukuman seumur hidup serta di tempatkan di tempat khusus untuk itu, dengan alasan pemberat menyalahgunakan jabatan. Hal yang tidak kalah penting lainnya adalah, melakukan evaluasi ulang dalam sistem rekruitmen, termasuk dalam hal penempatan (rotasi) para hakim/penegak hukum lainnya dalam menjalankan tugasnya. Dalam konteks ini perlu adanya penilaian terhadap penegak hukum/hakim sebelum yang bersangkutan memegang suatu jabatan, dan yang terakhir adalah adanya komitmen yang tegas dari Mahkamah Agung dalam menjalankan fungsi pengawasan seperti yang diamanatkan oleh undang-undang. Karena tolak ukur utama dalam menegakkan hukum terletak pada indepensi penyelenggara profesi dan kuatnya integritas moral ketika menghadapi beragam permasalahan yang menjadi tanggungjawabnya. Untuk menjadi penyelenggaraa profesi hukum yang baik dalam menjalankan tugas profesinya dalam menegakkan hukum dibutuhkan praktisi yang memiliki kualifikasi sikap, sikap kemanusiaan, sikap keadilan, mampu melihat dan menempatkan nilai-nilai obyektif dalam suatu perkara yang ditangani, sikap jujur, serta kecakapan teknis dan kematangan etis.

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed