oleh

PARADIGMA PENEGAKAN HUKUM BERLANDASKAN PANCASILA

-Opini-428 views

Oleh: Dr. FIRMAN TOBING

AKADEMISI & ALUMNI LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL – RI (LEMHANNAS-RI)

Negara Indonesia saat ini sedang dilanda berbagai masalah hukum, ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya. Bukan hanya ilmuwan berbagai perguruan tinggi saja yang gelisah menghadapi multiproblem ini, bahkan sebagian aparatur pemerintahan baik yang berada di lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan rakyat pun turut gelisah dengan keadaan tersebut.

Acapkali berbagai panggung diskusi, seminar, penelitian, dan penelaahan mengenai masalah tersebut dilakukan, baik dari sudut pandang keilmuan yang berbeda, tetapi tidak menghasilkan solusi apa pun.

Setelah diselidiki secara seksama dalam perspektif global ternyata permasalahan itu tidak hanya terjadi di Indonesia saja, bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat pun menghadapi masalah multidimensi yang ditandai dengan adanya tsunami ekonomi yang menghancurkan pondasi sistem moneter di negara itu tahun 2008 hingga saat ini (termasuk juga beberapa negara di Eropa).

Fritjof Capra, seorang fisikawan dari Amerika Serikat, dalam bukunya berjudul The Turning Point: Science, Society, and Cultural (1982) menyebutkan bahwa di awal dua dasawarsa terakhir abad kedua puluh, akan ada krisis global yang serius, yaitu suatu krisis kompleks dan multidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan. Krisis ini merupakan krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, moral, dan spiritual; suatu krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah umat manusia.

Berbagai krisis multidimensi di berbagai negara, dari kacamata ilmu hukum, tentu ada suatu sistem yang salah, dalam sistem hukum yang ada, seperti tidak terimplementasikannya nilai-nilai keadilan yang di dalamnya terdapat unsur moralitas yang berlaku secara universal, sebagai salah satu contoh adalah krisis yang melanda Amerika Serikat, salah satu yang menjadi faktor utamanya adalah akibat dari tidak diterapkannya pelaksanaan nilai keadilan dan moralitas terhadap penyelesaian masalah di Timur Tengah dan beberapa negara Afrika (dana pemerintah habis hanya untuk berperang), bahkan konsep berperangnya pun jauh dari prinsip equity, humanity dan ethics).

Permasalahan yang hampir sama juga terjadi di Indonesia, bahkan boleh dikatakan terjadi pasca era reformasi 1998, dan saat ini sudah mencapai titik nadir yang ditandai dengan semakin lunturnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap realisasi hukum positif yang berlaku di Indonesia, terutama dalam penegakan hukum positif itu sendiri.

Penegakan hukum positif dapat berwibawa di hadapan rakyat dan kalangan internasional apabila keadilan dapat berfungsi dan selalu hidup di dalam raga hukum.

Tanpa menegakkan keadilan dalam hukum, akan menimbulkan penyimpangan dan penyalahgunaan, siapa pun yang memegang kekuasaan atau kewenangan, yang nantinya akan berdampak buruk bagi tatanan sosial di masyarakat, dan menimbulkan krisis sosial secara regional bahkan dapat berimplikasi secara internasional.

Penegakan Hukum Berlandaskan Pancasila

Konsep keadilan di Indonesia adalah berasaskan keadilan sosial sebagaimana tertuang dalam Sila Ketiga dari Pancasila yang diperkuat lagi oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan “… terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Selanjutnya, dikatakan bahwa Pemerintah Indonesia “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

Namun demikian, dalam kenyataannya hakekat keadilan sosial kurang dipahami arti serta isinya, sehingga cita-cita masyarakat yang adil dan makmur itu masih jauh dari harapan semua orang di Indonesia, khususnya bagi para pencari keadilan.

Tidak bisa dipungkiri adanya kaitan antara Pancasila dengan penegakan hukum yang berkeadilan adalah penjabaran dari konsep negara Indonesia sebagai Negara hukum yang merupakan perpaduan dari tiga unsur yaitu Pancasila, Hukum Nasional dan Tujuan Negara.

Ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh. Di satu sisi, Pancasila merupakan dasar pembentukan hukum nasional yang disusun sebagai sarana untuk mencapai tujuan negara.

Tidak ada artinya hukum nasional disusun apabila tidak mampu mengantarkan bangsa Indonesia mencapai kehidupan yang sejahtera dan bahagia dalam naungan ridha Illahi. Di sisi lain, konsep penegakan hukum yang berdasarkan “Keadilan” dan “Ketuhanan Yang Maha Esa” juga wajib hukumnya mengacu pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Harus pula diakui bahwa faktor penghambat dari kekuatan penegakan hukum tidak terlepas dari ulah para penegak hukum sendiri yang menerapkan cara-cara berhukum hanya dengan mengeja teks undang-undang.

Padahal sejatinya, hukum tidak berdiri sendiri, adakalanya memasuki wilayah keilmuan yang lain, seperti wilayah psikologi, yang dengan itu dapat diperoleh suatu konsep bahwa hukum tidak hanya berurusan dengan peraturan melainkan juga perilaku manusia. Dalam konteks ini, pakar hukum Indonesia, Satjipto Rahardjo menawarkan solusi mengatasi keterpurukan penegakan hukum di Indonesia melalui ide yang dikenal dengan penerapan Hukum Progresif melalui, Pertama, penggunaan kecerdasan spiritual untuk bangun dari keterpurukan hukum, memberi pesan penting kepada kita (terutama akademisi dan praktisi hukum) untuk berani mencari jalan baru (rule breaking) dan tidak membiarkan diri terkekang cara menjalankan hukum yang lama dan tradisional yang jelas-jelas lebih banyak melukai rasa keadilan.

Kedua, pencarian makna lebih dalam hendaknya menjadi ukuran baru dalam menjalankan hukum dan bernegara hukum untuk itu diperlukan adanya keterlibatan para stakeholder hukum di Indonesia (akademisi dan praktisi hukum) untuk selalu bertanya kepada nurani tentang makna hukum lebih dalam.

Ketiga, hukum hendaknya dijalankan tidak menurut prinsip logika saja, tetapi dengan perasaan, kepedulian, dan semangat keterlibatan (compassion) anak bangsa yang sedang menderita.

Segala daya dan upaya hendaknya dilakukan untuk bangun dari keterpurukan dan sekali lagi perlu menggugat diri yang selama ini mempunyai cara berpikir yang lebih banyak mendatangkan kesusahan.

Sudah semestinya hukum merupakan institusi yang berfungsi untuk menjadikan bangsa kita, merasa sejahtera dan bahagia.

Akhirnya, solusi terbaik untuk menjawab permasalahan tersebut bagi para penegak hukum di Indonesia adalah mengembalikan permasalahan kepada nilai jati diri bangsa yang sesungguhnya yakni Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, serta menerima konsep hukum baru yaitu hukum progresif yang merupakan bagian dari hukum non-doktrinal yang lebih menekankan pada nilai-nilai moral-sosial-relijius dan memandang suatu permasalahan ditinjau dari berbagai disiplin keilmuan yang bisa sinkron terhadap ilmu hukum itu sendiri, SEMOGA.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed