Oleh: Dr. Firman Tobing
Akademisi/Anggota Pusat Analisa Kebijakan Hukum & Ekonomi Indonesia
Dalam sejarahnya, demokrasi selalu memunculkan berbagai makna yang beragam sesuai dengan kondisi kultur, jaman, dan sentimen politik. Untuk konteks Indonesia, wajah demokrasi mengalami beberapa kali metamorfosis. Tahun 1945-1958 Indonesia menggunakan istilah Demokrasi Liberal. Namun dalam perjalanannya, baru pada tahun 1955, ketika dilaksanakan Pemilu I, Indonesia benar-benar menerapkan Demokrasi Liberal yang utuh. Kemudian, di masa-masa akhir kekuasaan Presiden Soekarno membuat istilah Demokrasi Terpimpin yang cenderung otoriter dan di era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto mempopulerkan istilah Demokrasi Pancasila, yang juga tidak jauh dari watak otoritarianisme. Pasca lengsernya Soeharto, Indonesia juga masih menggunakan istilah demokrasi sebagai alat untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pasca lengsernya Presiden Soeharto yang melahirkan era reformasi yang menuntut adanya perbaikan di segala bidang termasuk dengan sistem Demokrasi yang mempunyai agenda tambahan untuk memperkukuh praktik-praktik dan implementasi demokrasi, yaitu agenda pemberantasan korupsi. Isu tentang pemberantasan korupsi menjadi diskursus sentral era reformasi karena diyakini bahwa korupsilah yang sejatinya menggerogoti pemerintahan Soeharto, Artinya, korupsi telah menjadi musuh bersama seluruh elemen bangsa pada era reformasi. Korupsi disignifikasikan sebagai biang kerok kegagalan pembangunan dan kehancuran demokrasi. Namun permasalahan justru makin menguat setelah ± 26 tahun lebih era reformasi berjalan, gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia tidak menghasilkan kontribusi apapun. Alih-alih korupsi dapat dibasmi, modus korupsi semakin beragam, perilaku korupsi semakin massif dan terang-terangan, seolah-olah hukum tak kuasa menghadapi para koruptor. KPK sebagai lembaga yang dibentuk khusus untuk pemberantasan korupsi hanya bertaji diawal-awal pembentukannya, bahkan disinyalir Ketua KPK diduga turut terlibat dalam tindak pidana korupsi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa demokrasi adalah sebuah keharusan, sebuah fakta historis yang tak mungkin dibalikkan. Oleh karena itu, menjadi penting untuk mengetahui cara menuju demokrasi. Paling tidak ada tiga pendekatan yang harus dilakukan untuk dapat mencapai demokrasi yang dicita-citakan antara lain, melalui pendekatan yang mempercayai bahwa demokrasi dikembangkan melalui modernisasi, menyikapi bahwa demokrasi adalah sebuah pilihan sadar yang bersifat linear, serta terakhir menyadari bahwa demokrasi terbentuk karena adanya perubahan struktur dan kelembagaan politik.
Korupsi Penghambat Demokrasi Indonesia
Rejim Reformasi menempatkan isu pemberantasan KKN sebagai isu utama lebih disebabkan kesadaran kolektif bahwa demokrasi yang bisa mensejahterakan rakyat tidak mungkin dapat berjalan selama KKN masih menggurita di Indonesia. Namun sayang, pada masa transisi demokrasi pasca reformasi yang terjadi di Indonesia tidak memberi ruang yang cukup pada gerakan-gerakan pemberantasan korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebuah lembaga Ad-hoc yang khusus dibentuk untuk memberantas korupsi hanya bertaji pada awal-awal berdirinya.
Jika kita memperhatikan berbagai peristiwa korupsi yang terjadi pada masa Indonesia modern, perilaku korupsi pada masa transisi demokrasi atau era pasca reformasi justru menunjukkan gejala yang lebih massif. Meminjam istilah Al-Attas dalam bukunya “Sosiologi Korupsi”, bahwa korupsi di era reformasi menuju pada apa yang disebut Self Destruction (Terj: penghancuran diri). Beranjak dari hal ini, satu hal yang harus digaris bawahi adalah perilaku korupsi pada masa transisi demokrasi di Indonesia yang sudah menyebar secara merata di semua pusat-pusat kekuasaan, baik di pusat maupun di daerah. Desentralisasi dan otonomi daerah justru menjadi pintu gerbang semakin merajalelanya korupsi di Indonesia. Artinya, semangat pemberantasan korupsi pada masa transisi demokrasi hanya menjadi lips service, jauh panggang dari api. Berbagai fenomena korupsi yang terjadi menunjukkan bahwa masa transisi demokrasi (era reformasi) berjalan sangat lambat dan bahkan “mungkin” tidak akan pernah berujung pada demokrasi sesungguhnya, sebab utamanya adalah perilaku korupsi yang justru semakin tak terkendali.
Pada akhirnya, satu-satunya cara untuk menjaga agar demokrasi dapat berjalan pada jalur dan arah yang benar adalah dengan memperkuat eksistensi KPK. KPK sebagai lembaga yang khusus menangani tindak pidana korupsi harus diberi ruang yang cukup untuk bekerja, tanpa intervensi dari kekuasaan. Memang harus pula diakui bahwa masalahnya tidak semudah itu, dalam situasi seperti saat ini korupsi yang merajalela dan membudaya sejak orde lama, orde baru, orde reformasi. Perlu disadari bahwa kehadiran reformasi adalah sebagai respon atas krisis moneter yang melanda Asia. Oleh karena itu, membebankan pemberantasan korupsi hanya pada KPK adalah hal yang tidak bijak. Eksistensi KPK juga harus didukung oleh elit (penguasa). Hal ini menjadi penting karena pelaksanaan demokrasi tidak akan berujung pada demokrasi yang sesungguhnya selama kalangan elit tidak mendukungnya. Berbagai kasus-kasus di Indonesia menunjukkan bahwa demokrasi tetap stagnan lebih disebabkan tidak adanya kesadaran para elit dan tidak memberi ruang yang cukup untuk tumbuh-suburnya gerakan-gerakan anti-korupsi. Alih-alih berperilaku anti-korupsi, para elit justru mempertontonkan perilaku korupsi secara terang-benderang dan massif.(***)
Komentar