oleh

Money Politics Dengan Penguatan Nilai Ideologis Pancasila

-Nasional-845 views

Oleh: Dr. Firman Tobing

Akademisi/Member of Law & Economics Academic Forum (LEAF)

Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik dan kedaulatan berada di tangan rakyat. Kedaulatan ada di tangan rakyat yang berarti bahwa rakyat mempunyai kedaulatan, tanggung jawab, hak, dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan untuk mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat. Rakyat juga berhak mengawasi jalannya pemerintahan. Konsekuensi dari semua ini adalah suara rakyat menjadi memegang kekuasaan tertinggi di Indonesia melalui wakil-wakil yang dipilih oleh rakyat.

Harus diakui berbagai dinamika masa lalu, masa kini, dan masa depan, Pancasila mampu menjadi dasar bagi semua aktivitas politik. Setelah lebih dari dua dekade sejak jatuhnya Soeharto, sistem pemilihan umum tumbuh semakin bebas dan adil, namun perluasan politik elektoral tersebut belum mengubah sifat klientelisme politik Indonesia. Jadi, terlepas dari harapan bahwa Indonesia pasca-Soeharto memulai proses perubahan yang cepat menuju mode pemerintahan demokratis, pemberdayaan kekuatan masyarakat sipil belum terjadi. Salah satu faktor penghambatnya adalah pelaksanaan pemilihan umum yang menciptakan sistem korup salah satunya adalah masifnya praktik money politics. Money politics adalah korupsi yang terkait dengan proses elektoral. Dimensi utamanya adalah retail strategy of vote buying dan klientelisme. Money politics diantaranya berupa tindakan membagi-bagi uang (dapat berupa uang milik partai atau pribadi). Publik memahami money politic sebagai praktik pemberian uang atau barang atau iming-iming sesuatu kepada masa (voters) secara berkelompok atau individu, untuk mendapatkan keuntungan politis (political again). Artinya tindakan money politics itu dilakukan secara sadar oleh pelakunya yang memanfaatkan perilaku masyarakat yang cenderung lemah dalam mendapatkan informasi politik akan menjadi sasaran empuk praktik politik uang.

Tidak bisa dipungkiri dalam setiap kontestasi politik akan diwarnai oleh aktivitas politik seperti lobby, politik transaksional, dan tren yang paling berisiko kemungkinan akan semakin merajalela yakni politik uang (money politics) karena para pihak berusaha menambah pundi-pundi dari berbagai sumber dengan menghalalkan segala cara. Pengalaman tahun 2019 misalnya, yang ditandai dengan meningkatnya suhu iklim politik disebabkan oleh tidak terbangunnya kepercayaan di antara para pihak khususnya kandidat calon dan masyarakat pemilih. Selain itu, pola hubungan antara masyarakat sipil dan partai politik juga kurang komunikatif. Begitu pula halnya saat ini, di mana terjadinya berbagai gejolak politik untuk persiapan pemilu tahun 2024 juga didorong oleh persaingan partai-partai dalam mempersiapkan kandidat untuk bersaing dalam calon presiden.

Politik uang merupakan salah satu praktik yang dapat menciptakan korupsi politik dan tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa politik uang sebagai the mother of corruption. Politik uang menjadi corong utama menciptakan pemimpin yang pro terhadap kepentingan pribadi dan kelompok, yang secara otomatis akan berdampak pada tingginya biaya politik seorang kandidat pemimpin saat proses pemilihan. Dan sudah barangt tentu ketika seorang kandidat yang terpilih dengan proses suap menyuap, akan berpikir bagaimana modal yang dikeluarkan kembali dan bukan berpikiran untuk kepentingan rakyat.

Money politics yang terjadi dalam pemilu dan pilkada disebabkan oleh pemahaman para pemilih yang belum jelas. Politik uang juga terjadi karena pembelian suara dipahami secara berbeda oleh aktor-aktor politik. Kebiasaan kandidat calon memberi hadiah atau cinderamata dianggap sebagai bentuk sopan santun budaya Indonesia. Padahal berbeda jauh dengan implementasi nilai-nilai ideologis Pancasila. Turunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemilihan umum, partai politik dan kandidat calon mendorong masyarakat dan para pemilih (voters) menjadi apatis terhadap proses politik. Sehingga pemilih mengharapkan sesuatu yang “transaksional bermanfaat” (uang atau barang) untuk dukungan politik yang mereka berikan.

Pancasila Sebagai Dasar Ideologis Bangsa

Money politics di Indonesia sudah menjadi penyakit kronis yang perlu dicari formula yang tepat. Formula hukum sudah dibuat dan masih memerlukan beberapa penyesuaian karena praktik money politics semakin terstruktur, sistematis dan masif. Pendekatan yang perlu dicoba untuk digunakan dalam mereduksi money politics adalah melalui cara-cara penguatan modal sosial Pancasila dengan mengangkat kearifan lokal bersama dengan peran serta masyarakat.

Dalam suatu kesempatan, Bung Hatta pernah menyatakan bahwa perjuangan yang paling sulit adalah bagaimana berjuang untuk masyarakat sendiri. Kehancuran atau kegagalan seseorang atau bangsa lebih ditentukan oleh faktor internal, faktor yang datang dari dalam diri sendiri. Faktor internal ini terkait dengan mentalitas. Orang Indonesia bisa mengalami kegagalan karena faktor mental orang Indonesia itu sendiri. Secara fenomenologis, bangsa Indonesia mengalami degradasi, kehilangan malu, sering berbohong atau tidak jujur, serakah, tidak berani membela kebenaran, dari pemimpin dan beberapa orang. Fenomena terjadinya degradasi mental yang diawali dari praktek-praktek money politics yang semakin massif telah mengakibatkan lahirnya para pemimpin-pemimpin korup yang saat ini semakin merajalela, masuk ke dalam hampir semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara, baik sosial, politik, hukum, budaya, ekonomi dan keamanan dan telah divonis sebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila yang menjadi dasar dan tujuan negara Indonesia.

Perilaku money politics, jelas menyimpang dari nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Tindak pidana money politic menyimpang dari perintah Tuhan Yang Maha esa, merugikan banyak orang, serta dapat mengakibatkan perpecahan dalam masyarakat. Implikasi dari kehilangan nilai ideologis Pancasila tersebut dalam ajang pesta demokrasi bisa mengakibatkan hilangnya kedaulatan rakyat dan kualitas calon yang terpilih sangat buruk, sehingga tata kelola pemerintahan tidak optimal. Dampak lainnya yang paling dirasakan adalah demokrasi mengalami stagnasi karena hanya yang memiliki modal/capital yang bisa memegang kendali tata kelola pemerintahan. Hal ini secara otomatis juga menyingkirkan kandidat potensial dan figur profesional dalam kepemimpinan publik. Para pejabat terpilih cenderung akan berupaya untuk mengembalikan modal dalam biaya politik ketika pemilu. Dalam arena politik kepemimpinan publik, relasi kuasa telah terkontaminasi oleh faktor-faktor nepotisme dan politik transaksional. Di sektor pemerintahan, banyak pejabat yang terindikasi, bahkan ada yang terbukti melakukan korupsi. Dapat dikatakan bahwa kedaulatan atau kekuasaan rakyat dalam demokrasi telah dibeli oleh banyak elit korup. Kenyataannya, demokrasi hanya memberi ruang bagi orang yang berkuasa pada momentum pemilihan umum, yaitu pada saat orang berada di bilik suara di tempat pemungutan suara.

Oleh sebab itu, untuk tetap menjaga marwah pemilu yang bebas dan aktif, sangat dibutuhkan adanya peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan praktek money politics yang bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk untuk mengimplementasikan nilai-nilai ideologis Pancasila. Pertama, mewujudkan nilai bergotong royong dan bersinergi aktif. Gotong royong dan bersinergi secara aktif dengan semua stakeholder yang concern terhadap demokrasi seperti KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), LSM, perguruan tinggi, organisasi sosial keagamaan serta organisasi kepemudaan. Gotong royong perlu dilakukan untuk mereduksi masifnya money politics di Indonesia. Kedua, mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dengan semangat gotong royong seperti pendirian posko pengaduan di Desa/Kelurahan yang bertujuan untuk menjadi wadah masyarakat dalam melaporkan segala bentuk kecurangan yang terjadi termasuk juga untuk mendapatkan informasi terkait pemilu.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed