OLEH: DR. FIRMAN TOBING
MEMBER OF LAW AND ECONOMIC ACADEMIC FORUM INDONESIA (LEAFI)
Nicollo Machiavelli, seorang tokoh filsuf dan figur yang penuh kontroversi menuliskan pemikiran yang tak lazim dalam salah satu karyanya yang paling fenomenal yakni Il Principe (Sang Pangeran). Secara pragmatis, Machiavelli berpendapat, kekuasaan harus direbut dengan berbagai cara, bahkan jika perlu dengan menggunakan trik yang paling kotor sekalipun. Jika kekuasaan sudah di dalam genggaman, maka harus dipertahankan dengan segala kekuatan. Machiavelli berpendapat, kekuasaan harus dijaga dengan “metode medis”, bahwa setiap perlawanan dianggap sebagai virus yang wajib dimatikan, ketimbang luka menyebar dan anggota tubuh yang sudah terinfeksi harus dipotong. Dari pemikiran Machiavelli ini, kemudian diasosiasikan dengan hal yang buruk, untuk menghalalkan cara untuk mencapai tujuan, orang yang melakukan tindakan seperti ini disebut makiavelis.
Jika sejenak kita mengamati berbagai fenomena yang terjadi khususnya di dalam dunia perpolitikan Indonesia terutama pasca era reformasi akan ditemui berbagai hal yang menarik, artinya terjadi berbagai perubahan-perubahan yang signifikan dari para elit-elit politik atau para politikus dalam meraih sebuah kekuasaan atau jabatan di pemerintahan baik di tingkat nasional, daerah, kabupaten dan bahkan tinkat pedesaan. Ada yang masih bertahan dalam lingkaran kekuasaan, ada yang tidak lagi dalam lingkaran kekuasaan dan ada yang memperjuangkan untuk mendapatkan kekuasaan. Adapun cara yang dilakukan untuk dan atas nama kekuasaan dengan satu tujuan untuk menduduki jabatan tertentu.
Candu Politik dan Kekuasaan
Tidak bisa dipungkiri bahwa politik dan kekuasaan merupakan dua hal yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Di satu sisi politik menjadi candu karena disebabkan beberapa hal, Pertama politik sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan. Maka orang-orang berbondong-bondong mencari, merebut dan memenangkan melalui pertarungan Pemilu, Pilkada dan Pilkades dengan satu tujuan utama, meraih kekuasaan dan keuntungan. Dalam pragmatisme politik yang menjadi penting ialah kekuasaan dan keuntungan. Sehingga partisipasi politik hanya manifestasi dari keinginan berkuasa. Padahal sejatinya, dalam pengertian yang sesungguhnya sebuah kekuasaan hanya alat dan media antara yang menjadi sarana untuk dapat menciptakan tatanan masyarakat ideal sesuai dengan nilai dan paham yang dianut oleh suatu partai politik. Namun karena dorongan nafsu berkuasa yang begitu kuat, maka kekuasaan pun menjadi tujuan akhir dari politik itu sendiri. Mereka yang masih belum memenangkan pertarungan dalam kancah pemilu, misalnya, akan berusaha sekuat tenaga untuk meraih kekuasaan, dan sebaliknya, mereka yang sedang berkuasa akan mati-matian dengan segala cara akan mempertahankan kekuasaan. Demi tujuan berkuasa, kalau perlu mereka bahkan bisa menggadaikan ideologi partai melalui pembangunan koalisi partai besar, koalisi partai kecil dan gabungan kedua partai tersebut yang jelas-jelas menganut ideologi berbeda bisa juga dikatakan berseberangan.
Harus diakui bahwa dalam dunia politik sarat dengan diskursus yang mengalir tentang bagaimana berkuasa, sekaligus mengabaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh rakyat. Yang menjadi persoalan, dari berbagai situasi seringkali dihasilkan pemecahan masalah kemasyarakatan yang tidak populis. Demi tujuan berkuasa dengan mengabaikan kepentingan yang lebih umum dan kekhawatiran bahwa suatu solusi akan dipolitisasi akhirnya membuat banyak aktor politik enggan membuat sesuatu. Padahal sesungguhnya berpolitik ialah mengambil keputusan. Dan setiap keputusan yang diambil ada pihak yang dirugikan juga pihak yang diuntungkan. Namun, karena ada ketakutan yang berlebihan untuk mengambil resiko, partai politik yang berkuasa cenderung untuk menghindari solusi yang dapat membahayakan posisi kekuasaan mereka. Apalagi isu politik yang bisa dipolitisasi oleh oposisi (lawan politik).
Kedua, politik menjadi budaya jalan pintas (shortcut) dalam meraih popularitas. Budaya politik seperti ini bagi rakyat Indonesia bukanlah hal baru. Menurut Kuntjoroningrat, misalnya, telah menyebut bahwa karakter dasar manusia Indonesia adalah budaya “nrabas” atau jalan-pintas. Dunia politik dewasa ini sangat diwarnai oleh budaya jalan-pintas ini. Semangat jalan-pintas nyaris merasuki setiap kegiatan politik, dari rekruitmen anggota, pencalonan wakil partai, memenangkan Pemilu, bahkan sampai melanggar aturan panitia pengawasan Pemilu. Popularitas dianggap sangat penting sekali, partai-partai politik cenderung untuk mencari individu yang memiliki latar belakang selebritis, berasal dari trah penguasa, kaum the have (orang kaya secara materi) meskipun secara individu tidak memiliki kemampuan dan kapasitas intelektual serta pengalaman yang memadai dalam berpolitik. Ketika seseorang dianggap mampu dan berpotensi menarik massa, maka hal ini dianggap sebagai alasan yang cukup untuk menjadikannya calon yang akan ditawarkan oleh partai politik bersangkutan.
Bertitik tolak dari hal tersebut di atas, maka tidak heran jika dunia perpolitikan di Indonesia sepi dengan hal-hal yang bersifat ideologi. Padahal dari sinilah semuanya berangkat, bagaimana partai politik membangun visi dan misi, strategi jangka panjang, program kerja, atribut calon yang akan diusung, semuanya terkait dengan ideologi partai. Hal inilah yang disebut dengan sebutan politik adalah candu, dan candu itu adalah kekuasaan.
Komentar