Oleh: Dr. FIRMAN TOBING
Akademisi & Member of Law and Economic Forum of Indonesia (LEAFI)
Harapan masyarakat Indonesia akan hadirnya hukuman berat, menjerakan, dan memiskinkan koruptor belakangan ini semakin mengemuka.
Harapan tersebut tidak henti-hentinya disuarakan berbagai kalangan masyarakat, baik oleh mahasiswa, Lembaga Swadaya Masyarakat, pers, pemerintah, lembaga legislatif, bahkan oleh partai politik melalui jargon-jargon politikya untuk memberantas korupsi.
Harapan tersebut ibarat fatamorgana yang tampaknya indah akan tetapi hanya sebuah bayangan yang sulit diwujudkan.
Masyarakat bahkan dihadapkan pada kenyataan adanya koruptor yang dijatuhi pidana minimal, sehingga para koruptor dapat menikmati hasil korupsinya dengan tenang.
Di media terungkap pula terdakwa korupsi berakting, melambaikan tangan seolah-olah tanpa beban, padahal yang dihadapi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime).
Di Lembaga Pemasyarakatan hukum terbeli oleh terpidana untuk mendapatkan fasilitas mewah melampaui batas-batas kepatutan dan bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku. Deskripsi tersebut tentu sangat melukai rasa keadilan masyarakat.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa masyarakat dunia, baik di negara berkembang maupun negara maju semakin frustasi dan menderita akibat ketidakadilan dan kemiskinan yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi.
Masyarakat dunia menjadi pasrah dan sinis ketika menemukan bahwa aset hasil tindak pidana korupsi, termasuk yang dimiliki oleh para pejabat negara, tidak dapat dikembalikan karena telah ditransfer dan ditempatkan di luar negeri yang dilakukan melalui pencucian uang (Money Loundering) yang dalam praktik dilakukan dengan maksud untuk menghilangkan jejak hasil tindak pidana.
melihat kenyataan seperti ini, maka pengembalian aset negara hasil tindak pidana korupsi tidak akan maksimal karena di satu sisi pemerintah gencar melakukan pemberantasan namun di sisi lain, proses pengembaliannya tidak berjalan lancar.
Selain itu, pengembalian dan pengelolaan pengembalian aset negara hasil tindak pidana korupsi yang tidak tepat tidak akan memberikan dampak yang diharapkan dari pengembalian tersebut, yaitu untuk digunakan bagi pembangunan bangsa dan negara.
Atas dasar tersebut, sudah seharusnya negara wajib bertanggung jawab untuk melindungi masyarakat dari tindak pidana korupsi mengingat kerugian terbesar ditanggung oleh masyarakat karena korupsi berdampak pada terlambatnya pembangunan dan pencapaian kesejahteraan rakyat yang menjadi tujuan negara.
Perspektif baru penghukuman yang lebih menjerakan seperti yang terus digelorakan masyarakat hingga saat ini, menyangkut pula pemiskinan terhadap para koruptor.
Hal ini disebabkan karena korupsi sejatinya telah melanggar hak-hak sosial, ekonomi, dan politik masyarakat yang dilakukan secara terstruktur, dan meluas, yang berimplikasi adanya kemiskian dan kesengsaraan masyarakat.
Karena itus ecara etika moral, dan yuridis seyogyanya harta benda hasil korupsi tersebut, dikembalikan secara utuh demi kesejahteraan masyarakat, melalui tindakan hukum berupa penyitaan dan perampasan atas aset negara yang dikorupsi, pengenaan sanksi denda, dan hukuman penganti kerugian negara yang besarnya sesuai dengan kerugian negara.
Dengan hukuman yang maksimal diharapkan dapat menimbulkan efek jera, dan pemiskinan terhadap koruptor.
Pemiskinan Koruptor, Suatu Keharusan
Pemiskinan koruptor kini menjadi isu penting bagi negara-negara yang tingkat korupsinya sangat tinggi seperti Indonesia, agar dapat mengembalikan kekayaan nasional yang telah dijarah oleh para koruptor, karena untuk mengembalikannya diperlukan sumber daya dan modal.
Modal ini dapat diperoleh dengan pengembalian kekayaan negara yang diperoleh dari hasil korupsi demi kesejahteraan masyarakat. Ancaman hukuman badan dipandang sebelah mata karena praktik selama ini hukum dan hukuman sering dengan mudah diperjualbelikan oleh orang yang tidak bertanggungjawab.
Sementara itu terdapat persepsi di kalangan terpidana korupsi bahwa lebih baik menjalani hukuman badan dibandingkan dengan tersitanya aset-aset dan kekayaan hasil korupsi yang lebih manjamin kehidupan duniawi mereka sampai tujuh turunan.
Karena itu pemiskinan koruptor menjadi suatu hal penting dalam mengembalikan kekayaan negara (asset recovery) untuk kepentingan yang berhak.
Ketentuan Pasal 18 huruf A Undang-Undang Nomor 46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU TIPIKOR) menyatakan bahwa “Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut”.
Berdasarkan pasal tersebut, maka tindakan perampasan aset telah diatur dan dijadikan sebagai sanksi terhadap pelaku tindak pidana korupsi sebagai upaya untuk mengembalikan hasil kejahatan tersebut.
Selanjutnya, UU Tipikor juga menempatkan tindakan perampasan aset tidak hanya sebagai sanksi pidana terhadap pelaku, melainkan juga untuk barang yang telah disita dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum adanya putusan dijatuhkan terhadapnya dengan didapatnya bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka menurut UU Tipikor sebagaimana diatur pada Pasal 32, 33, 34 dan 38C, bahwa hakim atas tuntutan pihak penuntut umum dapat menetapkan tindakan perampasan terhadap barang-barang yang telah disita sebelumnya.
Perampasan aset dalam hukum internasional yang didasarkan pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Anti Korupsi yang dikenal dengan United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) yang yang diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Anti Korupsi pada tanggal 18 April 2006 serta untuk dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi Pemerintah Indonesia telah mengatur pula mengenai “mutual legal assistance” yang salah satu prinsip dasarnya adalah asas resiprokal (asas pembuktian terbalik).
Perampasan aset pelaku tindak pidana korupsi dalam kerangka UNCAC dapat dilakukan melalui beberapa cara seperti melakukan pelacakan aset dengan tujuan untuk mengidentifikasi bukti kepemilikan, termasuk dalam hal ini lokasi penyimpanan harta yang berhubungan dengan delik yang dilakukan; Pembekuan atau perampasan aset berupa larangan sementara mentransfer, mengkonversi, mendisposisi atau memindahkan kekayaan atau untuk sementara menanggung beban dan tanggung jawab untuk mengurus dan memelihara serta mengawasi kekayaan berdasarkan penetapan pengadilan atau penetapan dari otoritas lain yang berkompeten; melakukan Penyitaan aset yang diartikan sebagai pencabutan kekayaan untuk selamanya berdasarkan penetapan pengadilan atau otoritas lain yang berkompeten; Pengembalian dan penyerahan aset kepada negara korban.
Harus diakui pula, bahwa sejauh ini mekanisme perampasan dan pengelolaan aset hasil tindak pidana korupsi dilakukan melalui 2 (dua) jalur yaitu secara pidana yaitu melalui putusan pengadilan yang terdapat pada Pasal 18 ayat (1) UU Tipikor yang menyatakan bahwa, perampasan aset hasil kejahatan tindak pidana korupsi merupakan sanksi pidana tambahan sebagai upaya pemulihan kerugian negara akibat yang ditimbulkan pelaku dan melalui hukum perdata yaitu melalui gugatan secara perdata (civil provedure) dengan mengacu pada Pasal 32, 33, 34, 38c UU Tipikor yang pada intinya menyatakan, bahwa apabila setelah putusan pengadilan ditemukan kerugian negara maka negara atau instansi yang dirugikan dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana.
Bertitik tolak dari hal ini, maka hal yang saat ini sangat mendesak dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi khususnya terkait dengan penyitaan dan pengembalian aset adalah aturan yang tentang mekanisme dan lembaga yang mengatur perampasan aset, sehingga dapat lebih efektif dalam penanganan kasus pengembalian dan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi.
Masyarakat mengharapkan agar pemerintah segera melakukan pengesahan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) perampasan aset, sehingga terdapat mekanisme yang lebih jelas dan efektif dalam pelaksanaannya.
Komentar